Resensi Buku Tema Lengkap; Hidup, mistik dan kematian Sultan Agung

Resensi Buku; Hidup, mistik dan kematian Sultan Agung
Buku Seorang Doktor
Mendengar penulis Purwadi, kita diajak mengingat berbagai tulisan dibukunya yang menyebar di banyak toko buku. Keilmuan Jawa sebagai pilihannya untuk menuliskan kata-kata telah menghipnotis banyak pecinta kejawen. Pertama kali aku memegang buku Purwadi, sewaktu berada di kos temanku. Buku itu tebal, membahas tentang mistik Jawa. Aku tidak ingat judul buku tersebut.

Yang aku ingat setelah membuka lembaran-lembaran itu, saat ada mata kuliah Paramasastra yang diampu oleh dosen Berinisial S-dosen dengan jam terbang di 5 Universitas, termasuk kampusku. Ia sejenak berkisah tentang buku. Mana buku yang dianggap pantas untuk menjadi pedoman dan rujukan kuliah. Untuk Paramasastra dan unggah-ungguh, beliau memilih buku dari Sry Satya Wisnu Sasangka. Kemudian aku nyelethuk, “Menawi buku Purwadi Pripun, Pak?” tanyaku dalam bahasa Jawa.

Sejenak dosen saya diam. Selanjutnya ia memberi informasi bahwa buku-buku dengan pengarang  tersebut ternyata yang menulis buku sesungguhnya bukan dia sendiri. “Masak dereng dangu medalaken buku, medalaken malih.” Tambah dosenku.

Bukan hanya berhenti di situ saja, aku mencari jawabnya dengan berkunjung di toko buku. Ternyata banyak sekali buku-buku Jawa dengan penulis Purwadi. Terkagumanku terhadap sosok Purwadi seakan luntur di makan air, hilang bersama larutan deterjen.

Tujuh tahun kemudian, ingatan tentang nama penulis tersebut muncul kembali. Saat itu aku berangkat ke pameran buku di Goro Assalam, tanggal 6 Juni 2015. Menaiki motor sendirian dan menambah keramaian jalan raya berharap mendapatkan buku nafas keilmuan beraroma Jawa. Akhirnya aku menemukan buku berjudul, Hidup, mistik dan kematian Sultan Agung(2012). Buku yang memang bisa menggoda kemauanku untuk mengambil, membuka lembaran, dan mengantarkannya ke kasir. Tanpa melihat nama penulisnya, aku berlalu pergi meninggalkan pameran buku itu dan menuju ke toko buku Toga Mas, untuk berburu buku Kidung Tantri Kediri.

Malamnya setelah sampai dirumah, aku sangat ingin memegang buku-buku yang sudah aku beli, menulisi dengan namaku dan biasanya aku juga menulis tanggal pembelian dan tempat dibelinya buku. Tiba saatnya untuk membuka buku pembelian dari Goro. Aku kagum saat membuka bagian tengah-tengah buku, karena aku menemukan tulisan dalam bahasa Jawa. Aku penasaran siapa penulis buku ini. Aku buka halaman sampul, Dr. Purwadi M.Hum yang tertera di sana.

Sebentar aku diam, sejenak aku mencari ingatan. Dan aku menyadari bahwa aku mempunyai kenangan bersama penulis ini, entah itu sewaktu duduk di kursi kampus maupun saat duduk ngobrol bersama teman-teman kos-kosan. Karena aku berkeinginan untuk belajar meresensi buku, maka buku ini juga harus aku tulis. Aku harus bisa bertanggung jawab atas semua buku yang sudah aku beli dengan membaca dan meringkas atau meresensinya.

Pada sampul tertuang gambar lima prajurit yang berdiri di depan kereta kuda. Aku tidak menetahui siapa saja para prajurit tersebut karena gambar hanya samar-samar. Dan di dalamnya aku mencoba mencari keterangan gambar namun belum ketemu juga. Diatas gambar tertulis, Hidup, mistik dan kematian Sultan Agung. Dan diatasnya lagi bagian pojok kanan ada tulisan Oryza. Aku sudah bisa menabak bahwa itu nama penerbitnya. Untuk nama pengarang berada di bawah sampul. Konsep yang wajar dalam sampul buku. Dan aku juga menganggapnya sebagai hal yang tidak keliru.

 Kisah yang menceritakan tokoh Jawa kebanyakan dianggap sebagai kisah yang hidup bersama mitos-mitos. Hal ini akan  menjungkir balikkan cerita yang jika dikaitkan dengan akal logika. Mitos dan logika ternyata tidak sejalur. Begitu juga dalam buku ini, banyak mitos-mitos yang dipaparkan dalam lembaran-lembaran halaman. 

Dalam awalan buku saja kita sudah disuguhi berbagai mitos yang mneyelimuti Sultan Agung. Kita bisa membuka pada halaman 9. Dengan sub bab,”Berkenalan dengan Imam Syafi’i”. Dikisahkan setelah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sultan Agung yang saat itu maih berloncat-loncat antar gunung. Setelah diberi wejangan oleh Sunan Kalijaga, Sultan Agung menunduk, dan akhirnya Sunan Kalijaga mengucapkan salam dan menghlang. 

Sunan Kalijaga masih selalu menjadi tokoh mistis dalam berbagai referansi. Dan kehebatan Sultan Agung tentang melompati gunung bisa jadi hanya simbolik biasa. Jika kita memahami secara mentah-mentah maka cerita tersebut tidak akan bisa di nalar sama sekali. Namun penulis buku tidak menambahkan keterangan mengenai hal ini. bahkan mitos-mitos masih berlanjut.

Dalam bab 2 berjudul, “Perjalanan diplomasi Sultan Agung” menceritrakan; Sultan Agung mengetahui bahwa kerajaan Mataram akan diserang oleh kerajaan Banten. Beliau mendengar berita itu dan tiba-tiba ingin datang sendiri untuk membuktikan, kemudian memanggil peliharaanya berupa makhluk halus(benang putih) yang bernama juru taman, diperintahkannya untuk memanggul kursi.

Berbagai cerita mitos menjadikan kita pada kelemahan pikiran berlogika. Kita diajak berimajinasi tentang sesuatu maupun tokoh yang memang hanya bisa dilakukan oleh tokoh itu sendiri. Ini akan mejadi berbeda jika kita membaca kisah Arok-Dedes karya Pramoedya Ananta Tour. Dengan apik Pram memisahkan mitos-mitos yang menyelimuti kehidupan Arok dan Dedes. Padahal dalam certia lisan, dua tokoh itu selalu berhubungan dengan mitos keris beserta kutukannya.

Buku yang mengabarkan sebuah penelitian selalu ditambahkan kesimpulan dan pendapat penulis.   Namun dalam Halaman 81, kita bisa membaca tulisan yang mengambil pada serat Nitipraja. Tulisan itu menguak pada Tata Pemerintahan Sultan Agung. Penulis hanya meyalin ulang terjemahan serat Nitipraja tersebut tanpa pemberian keterangan. Ini semacam lampiran-lampiran rujukan semata.

Dalam paragraf pertama berbunyi,  “Bagaikan tenggelam di lauptan api, perasaan saat ini, ketika menuliskan kitab ini, aku beri nama serat Niti Praja, maksudnya ing meniru para pujangga, membuka pemikiran, sebagai warisan setelah tiada nanti, memaksakan diri dengan bahasa indah, mengikuti orang-orang cerdik pandai, agar bisa digunakan tauladan dan pedoman.”

Paragraf demi paragraf memaksa pembaca untuk mengambil inti tulisan sendiri tanpa berteman penulisnya. Untuk selanjutnya aku juga merasa kurang mengerti saat membaca bagian-bagian yang menggunakan bahasa Jawa. Bacaan itu merupakan pengambilan dari sebuah serat atau pengalih bahasaan menjadi bahasa Jawa? Kita kurang bisa menebaknya. Dalam bab 7; Ambeg Adil Paramarta/belas kasih pada sesama, halaman 69.

Salah satu sub bab tersebut, Kangjeng sultan palembang. Kalimat pertama adalah, Kacarita kangjeng panembahan wus ngadhep ana narsane Kangjeng Sultan ing Palembang. ...
Tidak ada satupun keterangan yang mengabarkan bahwa tulisan itu pengambilan dari kitab, serat atau hanya pengalihbahasaan dari bahasa indonesia menjadi bahasa Jawa. Pembacapun akan dibuat bingung dan mengernyitkan dahi.

Sekarang, bagiku memilih buku harus tahu menahu tentang penulisnya. Penulis buku merupakan perkenalan awal dari seorang pembaca terhadap isi buku tersebut. Nama-nama penulis perlu juga untuk diobrolkan sebagai pegangan untuk mengetahui isi buku yang bermutu atau tidak. Kita bisa terjebak jika isi buku tersebut tidak bisa memberi kita wejangan melalui kisah, cerita dan kata-kata. Namun sebaliknya, jika isi buku memberi kita asupan nafas keilmuan dan mencerahkan, maka kitapun akan diajak dalam imajinasi dan kehidupan yang berbeda dan baru. Ah, Lain kali aku tak ingin salah lagi dalam memilih buku.

Oleh: bisri nuryadi


Share :

Facebook Twitter Google+
0 Komentar untuk "Resensi Buku Tema Lengkap; Hidup, mistik dan kematian Sultan Agung"

Back To Top