Artikel Imajinasi





Profesi Dan Imajinasi Kultural
Globalisasi telah menjanjikan sebuah peradaban yang sarat dengan praktis. Ruang dan waktu yang dahulu menjadi penghalang perkembangan teknologi, kini telah takluk dan menjadi alat pemotong monopoli birokrasi kekuasaan tradisional
Seiring perjalanan waktu, peradaban praktis telah menggilas berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, sampai dengan profesi.
Profesi adalah mata pencaharian atau pekerjaan yang autonom. Pekerjaan adalah tindakan manusia yang paling dasar : dalam pekerjaan manusia membuat dirinya menjadi nyata. (Karl Marx : 1999)
Pekerjaan manusia di sini menjadi pembeda antara manusia dan binatang. Binatang hanya bekerja di bawah desakan naluri, persis sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi manusia bekerja secara bebas dan universal. Kegiatan bebas dan universal secara sadar adalah ciri manusia. Kita hidup dalam dunia yang merupakan hasil pekerjaan ratusan generasi manusia sebelumnya. Pekerjaan menjadi salah satu keidentikan hakekat sebagai manusia.
Melangkah lebih jauh tentang profesi atau pekerjaan, ternyata hakikat dari pemakna-an profesi itu sendiri telah pudar. Mayoritas sekarang banyak memaknai profesi hanya sebagai pekerjaan rutin yang bisa mendapatkan penghasilan. 
Profesi-profesi itupun sekarang telah banyak mengalami perubahan, terseret dalam arus profesi yang bermutakhir kebarat-baratan. Seperti halnya profesi-profesi yang diakui dalam program kelas inspirasi yang digawangi oleh Anies Baswedan. Bahwasanya program kelas inspirasi ini akan melibatkan seratus profesional. Profesi ini adalah dokter, apoteker, penulis dan pebisnis. Seperti yang diberitakan dalam koran Tempo, Jumat 18 januari 2013 lalu.
Tetapi, karena banyak peminat yang mendaftar akhirnya kuota itupun ditambah. Seperti yang diberitakan dalam Koran Solopos, 12 Februari 2013, bahwa sebanyak 599 relawan pengajar telah terpilih dari 1026 pekerja profesional yang mendaftar untuk mengikuti kegiatan kelas inspirasi. Mereka berasal dari kelompok profesi seperti insinyur, bankir, praktisi media dan komunikasi.
Dalam kesejarahan negara kita, profesi diatas tercipta ketika zaman kolonial menduduki nusantara. Bangsawan-bangsawan keturunan keraton maupun putra-putri bupati yang berkuasa saat itu, disekolahkan ke Stovia Belanda. Dan akhirnya mereka  kembali ke nusantara dengan menyandang berbagai gelar kesarjanaanya.
Justru profesi asli nenek moyang kita tidak diakui dalam kelas inspirasi tersebut. Sejatinya Indonesia berangkat dari 3 sektor, yaitu agraria yang diwakili oleh petani, kehutanan yang diwakili oleh perambah hutan, dan kelautan yang diwakili oleh nelayan.
Profesi yang sering disebut dengan tradisional atau lebih terkesan kuno dan ketinggalan zaman ini pada hakikatnya menyimpan sekian banyak nilai yang tetap relevan untuk dikaji serta diaplikasikan kedalam wawasan, sistem maupun mekanisme kerja dialam modern.
Dengan bergesernya profesi-profesi tradisional menjadi profesi yang mutakhir kebarat-baratan, maka akan juga bisa dipastikan bahwa kebudayaan Bangsa kita juga akan mengalami proses pergerusan sedikit demi sedikit yang akan mematikan ketradisionalan itu sendiri.
Sepaham dengan pendapat Iman Budhi Santoso (1993) yang menyatakan bahwa salah satu ciri kebudayaan yang mengalami penghapusan (langsung maupun tidak langsung) ialah mengenai bentuk mata pencaharian tradisional.
Kemoderenan profesi telah menggerogoti tubuh kehidupan bermasyarakat kita. Kita telah lalai akan nasehat-nasehat luhur para pendahulu kita tentang pemaknaan profesi itu sendiri. Kearifan lokal yang telah diwariskan oleh leluhur kita sejak lama telah mengajarkan kepada anak cucunya terhadap pemakna-an profesi. Mereka menyinonimkan profesi sebagai sebuah pencarian pakaian dan makanan (golek sandang pangan) dan ada juga yang mengatakan dengan golek upa (mencari bijian nasi).
Dalam pencarian rezeki tersebut, secara apik seorang pujangga Jawa yaitu Yosodipura II menulis dalam Serat Sana-Sunu, contohnya dalam tembang Dhandanggula pada bab ke2 yang menguliti tentang kekayaan dan rejeki. 
Tembang itu berbunyi ; Hiya pangan hiya bok rijeki, karo iku apan ta tariman, saking hyang kang amurbeng reh, bok dunya bojo sepuh, bok rijeki bojo taruni, den bisa momong sira, bariman ro iku, bok dunya garwanta tuwa, yeku ingkang milu urip milu mati, de garwanta taruna. `
Tembang di atas bisa diartikan bahwa kekayaan adalah sebagai isteri tua, sedang rezeki sebagai istri muda, dan kita harus mengasuh keduanya. Kekayan atau keduniawian yang diumpamakan sebagai istri tua tadi akan ikut serta selama kita hidup sampai mati. Sedangkan rejeki yang seakan-akan menjadi istri muda akan menjadi kekuatan hidup kita. Manusia harus dapat mengasuhnya, dan jangan sampai keduanya itu patah hati.
Dalam nasehat ini jelas bahwa kita disuruh untuk menyeimbangkan antara kekayaan dan rejeki serta harus merawat keduanya dengan baik. Namun dalam kehidupan bermasyarakat sekarang nampaknya lebih banyak orang yang menampik dari nasehat yang luhur tersebut. Menganggap itu adalah nasehat kuno yang harus segera ditinggalkan karena sudah tidak sesuai dengan kehidupan modern.
Kini, orang Jawa sendiri yang notabenenya sebagai ahli waris sah dari leluhurnya sudah kehilangan jejak. Seperti peribahasa Jawa yaiku wong Jawa ilang Jawane, orang Jawa hilang jawanya. Semakin banyak orang yang meninggalkan nasehat leluhur, semakin banyak pula orang yang akan terjerumus dalam dunia globalisasi. Dalam dunia ini, terpakai hukum rimba yaiku siapa yang kuat dialah yang menang. Manusia seolah-olah menjadi jiwa yang tergesa-gesa dan pasti dengan sendirinya akan saling memakan satu sama lain.
Selanjutnya manusia akan selalu merasa was-was dan gelisah. Dan puncaknya ia akan selalu merasa tak puas dengan apa yang dimilikinya.  Tak ubahnya seperti penguasa yang rakus dan ingin menguasai segala-galanya. Seperti yang sering kita lihat dalam dunia perpolitikan di negara kita yang setiap hari mewarnai berita-berita ditelevisi dan Koran-koran lokal maupun nasional. Mereka mengatasnamakan pejuang rakyat, tetapi sebaliknya banyak yang kesandung kasus korupsi yang justru menyengsarakan rakyat yang telah mempercayainya.
Profesi telah menjadi penyebab hilangnya rasa kemanusiaan bagi mereka yang menyalahgunakannya. Profesi sudah menjelma menjadi monster peradaban yang bernaung dalam globalisasi yang selalu siap menerkam bagi siapa saja yang lalai dengan nasehat leluhur. Kini, imajinasi kultural yang adi luhung telah rapuh dan terkontaminasi bersama jejak-jejak manusia pribumi sendiri.  


Share :

Facebook Twitter Google+
0 Komentar untuk "Artikel Imajinasi "

Back To Top