PENGHORMATAN BUKU
Buku
membuat aku jadi pribadi sendiri
Aku
terpisah dari orang-orang
Yang
bekerja membangun dunia
Dengan
pukul palu peluh dan tenaga
Aku
merasa lebih mulia
Karena
memiliki pengetahuan dan mampu membeli
(Wiji
Thukul : 1988)
Hari
buku nasional yang jatuh pada tanggal 17 Mei minggu lalu, menyisakan tangis
tersendiri bagi sekelompok orang. Buku yang diagung-agungkan sebagai sumber ilmu
kini telah berbalik fakta. Penghormatan terhadap bukupun kian memudar dan
luntur termakan arus modernitas. Buku
dijadikan anak panah untuk sebuah bisnis perdagangan yang menghalalkan segala
cara.
Best
seller adalah salah satu cara untuk melariskan sebuah buku, walaupun untuk
cetakan pertama. Padahal status best seller dengan kondisi yang belum pasti
memuaskan pembaca akan patut dipertanyakan. Dikalangan kita, budaya membeli buku
kebanyakan adalah membeli sampul. Sampul dengan gambar yang menohok akan segera
kita beli tanpa memperhatikan isinya lebih lanjut. Karena budaya kita masih
berpegang pada budaya visual. Berbeda dengan budaya eropa yang mengutamakan isi
buku dari pada sampulnya.
Pemilihan
buku terhadap sampulpun akan berdampak pada penggunaanya. Ia akan lebih berumur
pendek daripada pemilihan buku terhadap isinya. Lihatlah buku-buku kuno yang
kini menjadi incaran para penikmat maupun kolektor buku. Walaupun umurnya
termakan oleh waktu, namun masih saja enak untuk dibaca.
Wiji
Widodo atau yang lebih dikenal dengan Wiji Thukul, merupakan salah satu aktivis
partai rakyat demokratik yang djadikan buron pada masa penguasa orde baru. Ia
diduga menjadi korban penculikan prahara Mei 1998. Dalam persembunyiannya, Wiji
Thukul masih menyisakan waktu untuk membaca buku.
Setiap
kali berkunjung ke rumah kontrakan di Tangerang, Thukul kerap membawa buku. Entah
itu buku dari kaum kiri maupun kamus filsafat atau karya sastra terjemahan. Temannya
beragam.
Thukul
sangat menjaga etika terhadap buku. Ia pernah memarahi teman kontrakannya
karena menggunakan buku sebagai tatakan untuk mangkuk mi instannya. “Jangan sekali-kali
menggunakan buku buat tatakan. Itu karya manusia yang harus dihargai” ujarnya.
Penghormatan
terhadap buku, juga telah dibuktikan oleh Muhammad Hatta yang hidupnya dipenuhi
dengan buku. Ketika ia diasingkan ke Banda Niera bersama Sjahrir, Hatta membawa
serta 16 peti bukunya yang berisi buku-buku tebal. Hal ini diceritakan dalam
buku Hatta, Jejak yang melampaui jaman
(2010). Hatta selalu mempunyai jam baca dan bercengkrama dengan buku-bukunya.
Setiap pukul 8 sampai 12 siang adalah waktu membaca. Terkadang ia juga mengetik
untuk mengisi surat kabar. Ia sangat menjaga buku seperti harta karun baginya.
Bahkan, Hatta pernah marah ketika bukunya terkena tumpahan air karena ulah yang
tidak disengaja oleh salah satu temannya.
Mahasiswa
dan perpustakaan adalah satuan yang tidak dapat dipisahkan. Namun, mahasiswa
dari kita hanya menggunakan jasa perpustakaan untuk mengerjakan tugas-tugas
kampus maupun keperluan skripsi. Padahal kondisi perpustaaan sekarang penuh
dengan kemewahan dengan berbagai sarana dan prasarananya. Kondisi perpustakaan
yang demikian berbeda sekali kisah yang diceritakan oleh Tere Lire dalam cerita
berjudul Burlian:Serial anak-anak mamak (2009).
Cerita
ini mengisahkan tentang kekecewaan Pak Bin dan juga Burlian atas ketiadaan
perpustakaan di sekolahnya. Hal itupun membuat setiap paket buku perpustakaan
yang datang dari kota hanya dimasukan di dalam sebuah kardus-kardus.
Cerita
tentang perpus diatas akan bisa mengingatkan kita terhadap kasus perpustakaan
yang akhirnya akan merendahkan kehormatan terhadap buku. Salah satunya adalah Perpustakaan UI yang saat
ini diduga melakukan tindakan korupsi proyek senilai Rp. 21 milyar, sesuai yang
diberitakan oleh Tempo minggu lalu. Dengan kasus yang demikian, maka Sekitar
20% barang yang diadakan tak sesuai dengan spesifikasi. Buku hanya dijadikan
target untuk malahap keuntungan yang tak halal.
Carut
marut kurikulum 2013 juga menutup akses perjalanan buku. Pengadaan buku untuk
kurikulum 2013 memerlukan dana yang tidak sedikit. Pengadaan buku pelajaran
tertunda karena adanya anggaran Kemendikbud yang dibintangi oleh kementrian
keuangan, sehingga berdampak pada penundaan pencairan anggaran. Penundaan
pencairan anggaran tersebut secara otomatis berdampak pada tertundanya seluruh
proses persiapan kurikulum.
Menurut
jadwal yang dibuat kemendikbud sendiri, misal proses pengadaan buku (tender)
itu sudah terjadi pada februari 2013, tapi lantaran dana belum cair proses itu
tertunda hingga april. Padahal proses tender itu memerlukan waktu minimal 45
hari, sedangkan percetakan buku untuk ratusan bahkan jutaan eksemplar waktu
minimal 1 bulan penuh. Wajar bila sampai minggu ketiga mei 2013, belum tersedia
buku untuk kurikulum baru. Dan karena buku yang baru belum tersedia, secara
otomatis proses pelatihan kurikulum barupun belum dapat dilaksanakan. Sulit
membayangkan kurikulum baru terimplementasi tanpa adanya pelatihan guru
terlebih dahulu.
Berbagai
kasus yang malang melintang terhadap buku, sebagi tanda bahwa kebanyakan kita
tidak melakukan penghormatan terhadap buku. Jika saja buku bisa bicara, mungkin
saja ia akan menangis dan menjerit kesakitan.
Ingatan
kita akan merujuk kembali kepada ajaran-ajaran penghormatan buku yang sudah
dicontohkan oleh Wiji Thukul dan Muhammad Hatta. Perlakuan mereka terhadap buku
sebagai makhluk hidup perlu tanamkan
kembali kepada kita dan generasi. Penghormatan kita terhadap buku akan
berdampak pada perilaku dan pengamalan kehidupan kita sehari-hari.
Keseharian
kita yang selalu memposisikan buku sebagai barang mati, tentunya akan membuat
kita brak bruk terhadap buku. Ini
akan bisa membedakan, orang yang memberi penghormatan terhadap buku sebaliknya.
Bisri
Nuryadi
Alumnus
Univet Bantara Sukoharjo
Bergiat
di Bilik Literasi Solo
Tulisan
di edaran ora weruh (Acara di Taman Budaya Surakarta)
0 Komentar untuk "Artikel Buku"