Rersensi buku : Kirti Njunjung Drajad
Daftar Isi Resensi Buku
Pekerjaan
Dan Martabat
Kata sebagian
orang, siswa bersekolah demi masa depan yang lebih baik. Rumor yang berkembang,
masa depan selalu merujuk pada pekerjaan dan gaji. Tidak heran jika setiap hari
kita menemui berita tentang pekerjaan. Di koran, radio, televisi, bahkan
ditembok-tembok pinggir jalan raya banyak terpampang berita tentang pekerjaan.
Berita tentang pekerjaan selalu menjadi berita tak kunjung usai. Kita mafhum,
demi melakoni keseharian dalam kondisi kemasyarakatan, kita dituntut untuk mempunyai
pekerjaan. Pekerjaan adalah tindakan manusia yang paling dasar : dalam
pekerjaan manusia membuat dirinya menjadi nyata. (Karl Marx : 1999)
Dalam
kesejarahan Negara kita, pekerjaan asli nenek moyang sejatinya berangkat dari 3
sektor, yaitu agraria yang diwakili oleh petani, kehutanan diwakili oleh
perambah hutan, dan kelautan yang diwakili oleh nelayan. Namun seiringnya waktu
berjalan, berbagai pekerjaanpun bermunculan ke permukaan. Ini demi kemodherenan
dan kemajuan jaman. Misalnya dokter, dan apoteker.
Pekerjaan
ini tercipta ketika jaman kolonial menduduki Nusantara. Bangsawan-bangsawan
keturunan keraton maupun putra-putri Bupati yang berkuasa saat itu,
disekolahkan ke Stovia Belanda. Dan akhirnya mereka kembali ke Nusantara dengan menyandang
berbagai gelar kesarjanaanya termasuk Dokter.
Linda
Christanty, seorang penulis cerpen ternama saat
berada di Balai Sujadmoko, tahun lalu mengatakan, jika kita tidak
mempunyai pekerjaan yang bisa kita ceritakan kepada seseorang teman atau
kerabat, maka berbagai anggapan burukpun akan menghujamnya.
Pernyataan
seperti itu sampai sekarang masih berlaku. Dibeberapa desa, setiap anak yang
sudah lulus dari sekolah menengah dituntut untuk mempunyai pekerjaan. Walaupun
pekerjaan itu tidak sesuai dengan jurusan sekolahnya dulu. Masyarakat akan
memandang ketekunan pemuda itu dari pekerjaanya. Begitu juga dengan seorang
Sarjana yang baru saja menempelkan foto wisudanya bersama keluarga dalam ruang
tamu. Ia tidak diberi kesempatan terlalu lama oleh masyarakat untuk mendapatkan
pekerjaan.
Masyarakat
selalu saja menjadi bagian dari pemerhati lulusan sarjana terutama didesa.
Alumnus Universitas dianggap sebagai tokoh intelektual yang harus mempunyai
pekerjaan yang sepadan dengan gelarnya. Jika tidak, cemooh dan remehan akan
selalu menghinggapinya. “Sarjana kok
nganggur” atau “Sarjana kok nyambut
gawe kaya ngono” dan masih banyak lagi. Tentunya ini akan menjadi beban
penyandang sarjana itu sendiri dan orang tua yang telah membiayainya.
Pekerjaan
dan orang tua memang sukar untuk dipisahkan. Terkadang kehendak orang tua dalam
penentuan pekerjaan anaknya berbeda jauh dengan apa yang diharapkan anaknya itu
sendiri. Orang tua membutuhkan anaknya mempunyai pekerjaan sesuai dengan
keinginannya demi pengisahan kepada saudara maupun kerabatnya. Pekerjaan
dijadikan tolak ukur keberhasilan anaknya.
Kisah
apik tentang pekerjaan, bisa kita baca melalui Novel Jawa yang berjudul “Kirti
Njunjung Drajat” yang berarti pekerjaan menjunjung martabat. Novel ini digubah oleh R.TG.JASAWIDAGDA (1885-1958) yang
diterbitkan pada tahun 1924.
Novel
ini bercerita tentang seorang anak muda bernama Darbo (18 tahun) dari kota
Solo. Ki Mas Nayapada selaku Orang tua menginginkan putranya menjadi seorang
priyayi atau pribumi yang bekerja di kepatiahan Mangkunegaran. Status priyayi
akan membawa dampak yang besar terhadap keluarganya. Karena disitu penuh dengan
kehormatan dan wibawa yang tinggi.
Dalam
perjalanan critanya, Darbo selalu berfikir tentang pekerjaan sebagai seorang priyayi.
Dalam bagian pertama, Darbo beserta orang tuanya yang berkeinginan ingin
kondangan ke Delanggu, Klaten, menunggu kereta api dari Semarang di stasiun
Balapan. Dalam sebuah gerbong itu terjadilah keributan antara Mas Bei
Mangunripta dan kondektur.
Keributan
terjadi karena Mas Bei kejatuhan barang dari pikulan pedagang kecil. Dan karena
itu ia marah besar. Karena suaranya terlalu keras, datanglah seorang kodektur
bule. Tidak lama kemudian kondektur mengetahui bahwa tempat duduk Mas Bei masih
kosong 2, untuk itu ia segera memerintahkan pedagang dan seorang lagi untuk
duduk di sebelah Mas Bei. Walaupun Mas Bei yang notabenenya seorang priyayi
tidak menginginkan semua itu.
Dalam
gerbong itu Darbo selalu berfikir bahwa wibawa seorang priyayi itu ternyata hanya
sebatas kepada sesamanya namun tidak kepada
pekerjaannya. Menurut peran utama Darbo, harga seseorang itu terletak pada
pekerjaan dan kepandaiannya, yang selanjutnya disebut dengan pakerti.
Ia
mencontohkan bahwa seorang sudagar, tani dan tukang apapun, jika rajin belajar
maka suatu saat juga akan menemui apa yang menjadi keinginannya.
Singkat
cerita, Darbo akhirnya meninggalkan pekerjaan magangnya yang sudah mencapai 6
tahun itu. Ia memutuskan untuk melakoni hidup yang bebas. Karena menurutnya,
bekerja disebuah instansi akan melulu berurusan dengan tata tertib. Sebagai
anak yang rajin, ia selalu mendisiplinkan diri untuk belajar. Melalui Den Bei
Praja Susastra, Darbo bisa melatih dirinya dalam hal kepenulisan. Hari-harinya
ia habiskan untuk membaca surat kabar dan menulis artikel.
Sampai
suatu saat, ia menjadi seorang penulis surat kabar ternama saat berpindah di
Semarang. Pekerjaan menulis selalu ia laksanakan pada malam hari. Namun, di
pagi harinya ia bekerja di pabrik pit
deteves sebagai setatir pabrik. Selama 9 tahun di Semarang, akhirnya Darbo
kembali ke Solo. Ia membuka bengkel dan dealer sepeda. Dan ia hidup mandiri
serba kecukupan bersama keluarganya.Pekerjaan
memang bukan suatu hal yang mudah untuk dilaksanakan. Didalamnya perlu ada
kedisiplinan dan tanggung jawab yang utuh jika ingin mencapai target dalam
pekerjaanya.
Berbagai
kisah tentang pekerjaan akan banyak didapati dalam berbagai film maupun novel.
Sebagai misal film atas novel berjudul tenggelamnya kapal Vander Wick yang
ditulis oleh HAMKA. Yang mengisahkan keberhasilan anak muda dalam bidang
kepenulisan sastra yang akhirnya bisa menolong mantan kekasihnya. Kita juga
tidak lupa nama hijo, biru dan ungu dalam novel Student Hidjo. Hijo harus
belajar ke negeri Belanda demi kehidupan yang lebih baik.
Pekerjaan
menjadi pembicaraan yang kuno, universal dan abadi. Banyak yang berpendapat
bahwa Ia adalah penentu dari kesejahteraan hidup. Karena pekerjaan tidak bisa
dipisahkan dengan uang. Sayangnya kini uang telah menjelma menjadi Tuhan.
Oleh: bisri nuryadi
0 Komentar untuk "Rersensi buku : Kirti Njunjung Drajad"