Contoh Tulisanku yang tidak dimuat Ah Tenane Solopos



Sekedar contoh tulisanku yang tidak dimuat Ah Tenane Solopos
Tulisan bersifat hanya untuk pembelajaran saja
jika ingin membaca cerita yang pernah dimuat Ah Tenane, Klik Di Sini.  
Bulan ruwah seperti sekarang ini, banyak digunakan warga untuk menikah. Termasuk Cempluk, sahabat karib Koplo dan Gembus sewaktu SMA yang akan melangsungkan pernikahan hari minggu di salah satu gedung Sumber, Solo ini.
Koplo dan Gembuspun menyusun rencana untuk mendatangani resepsi tersebut.
“Mbus, gimana besuk minggu?” Sms Koplo
“Nanti jam 7 malam aku sampai di tempatmu, Plo. Kita boncengan aja.” Jawab Koplo.
Saat hari minggu tiba, Koplopun bersiap dengan berdandan rapi. Tidak lupa ia menyiapkan uang dan segera mengambil amplop di tempat yang biasa ia menaruhnya.
“Wah. Amplope malah entek.” Batin koplo
Koplo segera menuju warung kelontong untuk mencari amplop.
Karena memang harga amplop murah, Koplo membeli dua amplop sekaligus. Beberapa saat kemudian Gembus datang.
Ayo Plo langsung wae.” Celethuk Gembus.
Dengan sigap Koplo langsung memboncengnya. Setengah jam berlalu mereka sudah sampai di gedung resepsi yang  dituju. Langsung saja dua sahabat itu masuk dan duduk. Sambil menikmati hidangan yang mbanyu mili dan mendengarkan lagu, tidak terasa jam sudah menunjukan pukul setengah sepuluh. Kedua mantenpun dibedhol dan di giring menuju depan guna menyalami tamu yang akan berpamitan.
Setelah salam tempel, Koplo dan Gembus segera ke parkiran, mengambil motor dan keburu pulang. Saat sampai dirumah, Koplo menyenthelkan bajunya dan mengambil amplop sisa untuk di simpan. Dan betapa kagetnya Koplo saat melihat amplop yang dianggap sisa itu tertulis namanya.
“Horok, dadi amplop sing tak wenehke Cempluk mau kosongan”. Kelakar Koplo.
Koplo langsung curhat kepada Gembus melalui Hp. Gembus hanya bisa tertawa ngekek saja mendengar cerita Koplo. 


Dipipisi Wedhus
Idul Adha merupakan salah satu hari yang ditunggu-tunggu umat muslim dunia, termasuk John Koplo, keluarga yang berdomisili di desa, Colomadu ini. karena keinginannya untuk berkorban sangat kuat, maka beberapa hari yang lalu Koplo dan istrinya, Lady Cempluk bergegas untuk mencari kambing kurban.
Bi, pados sing rada enom mawon.” Permintaan Cempluk.
Ya mengko ndelok-ndelok sek, Mi.” Jawab Koplo. 
Tak lama kemudian, berangkatlah Koplo dan Cempluk mubeng-mubeng mencari penjual kambing ke arah timur bangjo Colomadu, karena disitu banyak ditemukan penjual kambing dadakan.
Setelah melewati beberapa penjual kambing, akhirnya Cempluk menepuk-nepuk pundak Koplo.
“Abi-abi. stop. Kidul nika kadose kathah kambinge.” Teriak Cempuk.
O, ya, Mi. Tak nyebrang sek.” Koplo menimpali.
Pasangan itupun segera menghentikan motornya dan melihat-lihat kambing yang dijual.
Mangga pinarak, Pak. Pados ingkang menapa?” Tanya Tom Gembus, penjual kambing.
Selang beberapa menit, Koplo dan Cempluk menemukan kambing yang sesuai dengan keinginannya.
 Niki pinten, Pak?” Tanya Koplo.
Kalih welas, Pak.”Jawab Gembus yang berarti satu juta dua ratus.
Lha pase pinten, pak? ” Tanya Koplo lagi.
Merekapun terlibat nyang-nyangan sampai ditemukan kesepakatan harga. Selanjutnya Koplo segera mengurusi administrasi.
Saat itulah kejadian ora penak menimpa Cempluk sewaktu ia memandangi kambing yang segera menjadi miliknya. Entah haus atau apa, kepala kambing di hadapkan ke kelaminya, lalu keluarlah air seni dengan muncrat. Payahnya air kuning itu menyemprot mengenai sayak Cempluk.
“Masya, Allah. Abiii!” Cempluk teriak.
Mendengar suara itu, Koplo dan Gembus langsung menghampiri Cempluk dan segera menangani kejadian. Pembeli lain yang melihatpun pada cekikikan.


Hape Tikus
Tindakan yang didasari dengan rasa Kesusu terkadang membuat seseorang melakukan hal-hal yang jauh dari harapan.  Seperti John Koplo, salah satu warga Gemolong, Sragen, yang baru saja melangsungkan pernikahannya dengan Lady Cempluk 1 bulan yang lalu ini.
Dengan rumah tanggannya yang baru, Koplo dan Cempluk memilih tinggal di rumah kontrakkan sederhana. Seperti biasa, pada malam hari sebelum mereka bobok, Cempluk selalu memastikan tempat tidurnya bersih. Oleh karena itu, ia segera ngebut-ngebutke slimut. Saat itu juga ada sesosok tikus yang masuk ke dalam kamarnya. Sontak Cempluk kaget bukan main.
“Astagfirullah. Mas, ada tikus.” Teriak Cempluk sembari berlari menjauh dari kamar.
Mendengar itu Koplo segera mengambil gebuk kayu dan masuk ke dalam kamar.
Mau, tikuse neng endi dhek?” tanya Koplo.
Mau mlayu neng Pojok etan, Mas.” Jawab Cempluk.
Tanpa banyak orasi, Koplo langsung mengarahkan gebuknya ke pojok kamar. Dan benar, seekor tikus clurut dengan cepat merambat keatas dan ndelik dibawah slimut. Dengan tergesa-gesa Koplo memukul-mukul slimut yang kelihatan menonjol. Beberapa menit berlalu Koplo keluar dari kamar dengan membawa seekor tikus yang sudah mati karena gebukannya.
Kenek, mas.” Ucap Cempluk dengan perasaan lega.
Iya, Dhek. Tak guwange sisan.” Balas Koplo.
Tidak lama kemudian saat Koplo masuk rumah, ia kembali mendengar istri tercintanya njerit.
Maaaas... HP Toot screen ku kok ya mbok gebuukk.. Remuk, Mas.” Suara Cempluk yang segera membuat muka Koplo menjadi abang mbranang saknalika. Ealaaahhh... Salahe nganten anyar kok malah ngurusi tikus...


Kakean Thengkleng

Sudah menjadi kebiasaan, setelah semuanya selesai, panitia kurban disalah satu Desa Kec.  Colomadu Kra. Ini  berkumpul untuk menikmati bareng sebagian hewan kurban yang disisihkan. Tak terkecuali dengan john Koplo yang duduk sebagai seksi pengropok kepala dan kaki embek ini.

Bersama-sama teman remaja masjid lainnya, selesai ngropok mereka ditawarin untuk merasakan sedapnya thengkleng. Tanpa menolak, mereka langsung mengambilnya. John koplo yang dari tadi sudah ngiler mendengar kata “thengkleng” kini dengan lahapnya menyantap balung yang dibaluti daging kambing itu. Begitu juga yang lainnya, rata-rata mereka menghabiskan 2 piring.

 Selesai makan, mereka mengantar kropokan ke depan.

Mas John, nyuwun tulung diewaki nyinom ya, ibu-ibu dereng angsal” Pak Tom gembus sebagai ketua takmir minta tolong kepada John koplo.

 Nggih pak, sekedhap nggih.” Jawab john koplo.

Sebagai remaja yang entheng tangan, john koplo langsung mengambil tepak yang diisi dengan piring-piring penuh dengan thengkleng dan nasi.
Setelah selesai nyinom,“Mas John, monggo sakniki sampeyan nedho” permintaan  Pak Tom gembus.
wah kulo sampun, Pak.” John Koplo rekak-rekake mengelak, tapi akhirnya nambah juga. “badalah, madhang maneh Mbokde..ha..ha.” batin John Koplo berdansa.
Besuknya dirumah John Koplo. Ibunya, lady cempluk dan adiknya, Gendhuk nikole nyate daging kurban sisa kemarin, karena memang daging bagiannya banyak banget.John, lho rene le, maem sate”. Ibunya memanggil.
Nggih, Bu siap”. John koplo langsung mengambil posisi duduk. Diambilnya satu sunduk sate dan digigitnya daging paling ujung.
 mak cenut” John koplo kaget seperti ada yang ngganjel di giginya.
ngopo to le, kok ora sido dimaem?.” Tanya lady cempluk.
 “kok, untu kulo linu nggih bu?.” Balas John Koplo sambil menggigit-gigit giginya sendiri.
wah, kakean thengkleng gek wingi kuwi ha..ha..ha.” lady cempluk dan Gendhuk Nikole tertawa dan melanjutkan makan satenya.
John koplo hanya bisa sogok-sogok untu dan melihat barisan sate yang baunya slenthang-slentheng mampir ke hidungnya.
                



Kelangan Flesdisk
Berbagai kisah tentang hujan abu gunung kelud memang selalu menarik untuk disemak. Seperti kisah lain John Koplo berikut ini.
Beberapa pekan yang lalu, setelah hujan abu berakhir, seperti biasanya Jon Koplo, salah satu guru di SMA swasta Boyolali ini berangkat ke sekolahnya. Setelah sampai, seperti biasa Koplo mengajar sesuai Jadwal. Karena mengajarnya mengunakan LCD, iapun segera mengambil laktop dan mengecupkan kabel proyektor.
Tidak lama setelah itu, Koplo mengambil flesdisk dalam tasnya. Namun alangkah kagetnya Koplo ketika flesdisnya tidak ditemukan.
Wadhuh, kok ora enek cah.” Batin Koplo menggema.
Karena flesdisk tidak ditemukan, maka Koplopun tetap melanjutkan kegiatan belajar mengajarnya. Maklum, Guru ora kurang lakon.
Setelah selesai mengajar, Koplo kembali ke kantor. Ia mencoba mengingat-ingat. Seingatnya, semingu yang lalu Gembus, salah satu teman sekantor yang meminjam flesdisk. Untuk itu ia langsung menemui Gembus.
“Pak Gembus, flesku masih jenengan bawa ya?” Tanya koplo.
“lho, perasaan sudah aku kembalikan, Pak.” Jawab Gembus mengelak.
Lha kok ditasku tidak ada ya, Pak.” Koplo masih tidak percaya.
Akhirnya mereka berdua saling mengecek tas dan meja kerja masing-masing. Namun tidak  diketemukan.
Setelah pulang dari sekolah, Koplo tersadarkan oleh tas yang ternoda oleh abu vulkanik. Ia baru teringat bahwa tas yang dibawa hari itu bukanlah tas yang dibawa dikesehariannya. Benar saja, setelah mengecek, ditemukan flesdisk didalamnya. Iapun cengar-cengir sendiri dan mbatin, “Oalah, wis tuwa tenan sajakke aku iki. Mulai lalenan.”


KORANE KATUT
John Koplo adalah guru SMA swasta Boyolali yang tulisannya sering dimuat di Koran lokal Solo. Kebetulan, beberapa pekan yang lalu sekolahnya melaksanakan penilaian akreditasi. Maka untuk mendongrak nilai, para guru yang mempunyai karya diwajibkan untuk mengumpulkan.
“Pak Koplo, tolong tulisan penjenengan yang dimuat dikoran besuk di foto copy nggih.” Suruh Gembus pengurus akreditasi.
Sorenya setelah pulang sekolah, Koplo menyiapkan lembaran Koran yang ada karyanya. Koran tersebut dijadikan satu, ditali dan dimasukan ke dalam kresek. Iapun bergegas menuju tempat fotocopy terdekat .
“Mbak, tolong difotocopy rangkap dua ya, kertas HVS.” Ucap Koplo dengan menunjuk rubrik Koran.
Cempluk, tukang foto copy hanya sendhika dawuh. Akhirnya setelah 15 menit menunggu, Copy-an selesai. Koplopun mengeceknya.
“Sudah lengkap, Mbak. Minta notane, Nggih.” Pinta Koplo.
Setelah semua dirasa selesai maka Koplo meninggalkan tempat copy-an. Namun sebelum sempat nyetater motornya, Cempluk celuk-celuk.
“Mas, maaf korannya.” Ucap Cempluk.
“Ini Koran saya, Mbak. Lha yang dicopy tadikan foto saya semua.” Jawab Koplo kemaki.
Cemplukpun menerangkan dengan tenang. “Maaf, Mas. Koran harian disini katut terbawa juga.”
Koplopun mengecek Koran yang sudah dimasukan ke dalam kresek. Badalaahh… benar yang dikatakan Cempluk. Ternyata saat menunggu proses foto copy, Koplo membaca Koran milik foto copy-an dan lupa mengembalikannya.
“Eh. Maaf, Mbak. Lha korane sama og.” Ucap Koplo kisinan sembari menyerahkan Koran.
Selanjutnya Koplo hanya bisa ngacir begitu saja, karena tahu bahwa orang-orang disekitarnya lagi pada menahan tawa melihat tingkah Koplo. Ealaahh…


Oh…Telolet-ku
Beda generasi ternyata berpengaruh juga antara kepekaan seorang Bapak terhadap anaknya. Pernyataan itu juga dialami oleh John koplo, warga Colomadu, karanganyar yang baru mempunyai seorang anak ini. Pasalnya beberapa pekan yang lalu, Tom Gembus, anak nya yang baru menginjak kelas 2 SD merengek minta dibelikan tablet. Ketika itu Koplo yang baru saja pulang kerja langsung dihadap oleh Gembus.
 “Paak… belikan hape tablet.” Rengek Gembus.
“Buat apa ta, Le? Masih kecil lho.” Tanya Koplo.
Moto bis, Pak. Biar bise telolet.” Jawab Gembus polos.
Karena tidak ingin anaknya menangis, maka besuk sepulang kerja Koplo berencana mampir pasar klithikan untuk membelikannya. Besuknya, Gembus menanti ayahnya berharap membelikan tablet agar bisa memotret bis di tepian jalan.
 “Mana tablet-e, Pak?” Tanya Gembus setelah Bapaknya pulang.
 “Santai wae, Le. Yang penting telolet kan?.” Jawab Koplo sambil merogoh tasnya.
Sesaat kemudian dengan percaya dirinya Koplo mengangkat barang tersebut ke atas sembari berkata, “Ini dia, telolet untuk anak lanang.”
Beberapa saat ketika tahu bahwa yang dibeli Bapaknya bukan tablet melainkan teot-teot, alat yang dipijat dipakai para pedagang somay keliling, Gembus langsung menangis sejadi-jadinya.
“Haaa…haaaa….haaa…” Tangis Gembus.
“Lho, Piye ta, Le? Katanya yang penting telolet.” Tanya Koplo.
“Itu bukan telolet, tapi teot-teot. Haaa..haaa.”Jawab Gembus.
Koplo hanya bisa plongah-plongoh sendiri. Sementara tetangga yang menyaksikan hanya bisa tertawa.
“Oalah, pakdhe Koplo. Dah jadi Bapak kok ya belum peka.” Celoteh Cempluk salah satu tetangganya.


PRAHARA CAOS TEMPURA
Ora ubet ora ngeliwet, itulah semboyan hidup John , salah satu warga di Karanganyar ini. Karena sudah bertahun-tahun bekerja di pabrik namun kendhilnya masih saja nggoling, iapun membanting stir untuk berjualan tempura. Sebab ia merasa hasil berjualan itu lebih besar untungnya daripada kerja di pabrik yang monoton.
Kejadian lucupun  terjadi beberapa pekan yang lalu saat Koplo ngedoli tempura kepada ibu disalah satu perumahan Karanganyar.
“Mas, tumbas tempurane dua, ya. Tak tinggal bentar.” Ucap ibu itu, sebut saja Lady Cempluk.
Nggih, Bu.” Jawab Koplo.
Koplopun dengan cekatan menggoreng tempura pesanan Cempluk. Beberapa menit kemudian Beterbanglah bau gurih menggigit hidung yang menandakan tempura sudah matang. Tempura dientas, didiamkan sebentar lalu dimasukanlah ke dalam plastik oleh Koplo. Dan dimasukanlah caos kedalamnya.
“Bu, sampun”. Koplo memanggil Cempluk.
Nggih, Pak. Pinten?” Tanya Cempluk sambil keluar dari rumah.
Setelah selesai urusan pembayaran, Koplo langsung bergegas mencari pelanggan berikutnya. Namun, belum jauh sepedanya, Koplo mendengar suara Cempluk memanggil.
Mas.. mas.. sampeyan ki pripun? Kok caose pedes. Anakku nganti nangis.” Bentak Cempluk dengan nada agak tinggi.
Ngapunten, Bu. Kula kinten kangge jenengan.” Jawab Koplo sambil menghentikan sepeda.
Dengan penyesalan yang tinggi, Koplopun akhirnya menawari Cempluk untuk menukar Tempuranya. Namun Cempluk menolaknya dan ia pesan tempura lagi walau dengan grememengan sendiri.  Koplopun sendika dhawuh walau dalam hatinya pro kontra antara senang dan menyesal.
Oalah.. dasar penjual baru. Makannya tanya dulu to, Pak Koplo.


Sama-sama Jokonya
Pada masa kampanye seperti sekarang ini nama-nama calon Presiden sering terdengar di telinga kita melalui berbagai media, termasuk di telinga mbah John Koplo yang tinggal di kota vokasi, Solo ini. Beberapa hari yang lalu saat ia nglaras sambil mendengarkan berita di radio kesayangannya, ia dikagetkan dengan berita olahraga dari Mancanegara.
Beberapa saat setelah mendengar berita mbah Koplo bengak-bengok  memanggil istrinya, Lady Cempluk. “Bune.. Bune... reneya, iki lho beritane kok mbingungke ngene.”
Lha enek apa ta, Pak?” Jawab Cempluk sambil mendekat.
Iki lho, masak Pak mantan Walikota Solo mau bertanding tenis ke Amerika.” Koplo menjelaskan.
Cempukpun dengan seksama mendengarkan berita di radio. Ternyata yang diomongkan suaminya benar. Gantian Cempuk yang bengak-bengok memanggil cucunya, Tom Gembus, yang baru saja pulang kuliah.
Ngger, Masak pak Gubernur Jakarta yang mau mencalonkan jadi Presiden, malah mau bertanding tenis di luar negeri?” Tanya Cempluk banter. 
Gembus mendekat dan sejenak mendengarkan berita radio. Sontak ia langsung ngguyu cekikikan.
Lho kok malah ngguyu ta, Le?” Tanya Cempluk.
Oalah, Mbah-Mbah. Niki sanes calon presiden, nanging bener-bener pemain tenis lapangan. Namanya Djokovic. Bukan Pak Joko yang mau nyalon Presiden.” Gembus menjelaskan sambil ngguyu ngakak.
“Oalah.. berarrti sama-sama Jokonya.” Tambah Koplo.
Tom Gembuspun segera berakhir dari tempat itu sambil menggenggam cerita yang ia anggap lucu. Rencananya cerita itu mau ditulis dan dikirimkan ke salah satu harian kondang di Solo.



TAKUT ULER HONGKONG
Usum ternak burung seperti sekarang dimanfaatkan dengan baik oleh banyak orang, termasuk John Koplo, pemuda Karanganyar ini.
Tidak heran jika berbagai pakan burung pun tersedia dirumahnya, mulai dari jewawut, millet, kotek, kroto bahkan uler hongkong-pun juga ada.   
Kejadian tragispun terjadi, saat kekasih baru Koplo berkunjung ke rumahnya.
 “Dhek, lihat burung yuk”. Ajak Koplo.
“Iya, Mas. Dari tadi suara burungnya ngoceh terus, jadi Penasaran aku.” Jawab Cempluk,  nama kekasihnya itu sambil bergegas menuju samping rumah.
“Wah, Mas. Burungnya banyak banget. “ Tukas Cempluk terkagum-kagum.
Koplopun mengambil pakan burung yang diikuti suara burung parkit dan love bird yang kemruyuk.
Kejadian histeris pun terjadi saat Koplo makani burung prenjak.
“Sekarang kita makani burung prenjak, Dhek.” Ajak Koplo sambil membawa uler Hongkong sak cepuk. Tapi betapa kagetnya Cempluk saat melihat uler Hongkong yang kruget-kruget itu.
“Aaaa.. ulaaatt...” Teriak Cempluk sambil lari keluar.
“Ga apa-apa, Dhek. Ini ga nyakot.” Koplo Menjelaskan.
Namun, Cempluk masih saja girap-girap terbayang uler hongkong tadi. Ia pun minta segera diantar pulang.
Sejak saat itu hubungan mereka menjadi renggang, karena Cempluk selalu terbayang uler Hongkong jika melihat wajah kekasihnya, Koplo. Ealahhh.. 
 

Tragedi Sholat Gerhana
Gerhana matahari total memang terjadi ratusan tahun tahun sekali. Menjadi bagian dari momen tersebut merupakan keinginan banyak orang, termasuk John Koplo, pemuda Kartasura, Sukoharjo ini. Sesuai dengan ajaran agama yang dianut, maka pengumuman sholat gerhana segera menggema di desanya.
Niyat ingsun sholat gerhana.” Batin Koplo setelah mendengar pengumuman.
Pagi itu jam setengah enam, Koplo sudah menuju kolah untuk mandi besar. Dan setelahnya ia memakai baju gamis lengkap dengan peci dan sajadahnya. Tak lama kemudian Koplo berlalu dari rumahnya menuju lapangan, tempat sholat gerhana. Namun alangkah kagetnya Koplo setelah sampai di lapangan, ia tidak menemui satu orangpun.
“Lho, Bu. Kok lapanganipun sepi?” Tanya Koplo kepada Cempluk, penjaga warung dekat lapangan.
Lha arep enek apa ta, Mas?” Cempluk balik tanya.
Lha turene sholat gerhana niku, Bu. Wau dalu diumumke” Jawab Koplo.
Merasa tidak tahu, Cempluk langsung mencari suaminya, Gembus. Tidak berselang lama, Cempluk keluar bersama Gembus.
“Lho Mas, apa sholat gerhanane di lapangan? Kayake masjid.” Jawab Gembus mengagetkan Koplo.
Koplo diam sebentar lalu menjawab sembari kukur-kukur rambutnya yang tidak gatal itu. “Wah berarti kula salah mirengaken pengumuman, Pak.”
Sak ngertiku lapangan mung kanggo sholat Idul fitri dan Idul adha, Mas.”Gembus menambahi.
Saking groginya, Koplopun segera bergegas  menuju masjid yang letaknya ternyata tidak jauh dari rumahnya sendiri. Sementara itu, Gembus dan Cempluk tidak bisa manahan tawa. Mereka merasa mendapat hiburan di hari gerhana matahari tersebut.
“Masih muda kok wis suda rungu, Mas-mas.” Ucap Gembus yang membuat tawa Cempluk tambah menjadi-jadi.




Anting-anting vs Ban
John Koplo yang baru saja melangsungkan pernikahannya 3 minggu yang lalu ini, masih tampak kekok dengan istrinya,  Lady cempluk. Maklum, percintaan mereka disatukan oleh kedua orang tuanya melalui perjodohan Siti nurbaya yang sudah menjadi adat di desa terpencilnya. Walau begitu, John Koplo yang kesehariannya bekerja sebagai karyawan di selepan (penggiling padi) ini sangat begitu menyayangi istrinya, Begitu juga Lady cempluk.  
Kejadian lucupun terjadi.  Sebelum berangkat kerja, John Koplo pamitan kepada istrinya.
Dhek, Mas bidhal kerjo riyin nggih” kata John Koplo kepada istrinya diwaktu pagi.
Nggih, Mas ngatos-atos nggih.” Balas Lady cempluk diikuti dengan salaman dan mencium tangan suaminya.  
John Koplo berangkat kerja dengan jalan kaki karena ban sepedanya bagian luar meteng dan harus diganti. Karena John Koplo belum mempunyai uang untuk membeli ban, maka diputuskanya berangkat berjalan kaki. “paling yen mlaku gor rolas menit, nyambi olahraga.” Begitu gumamnya.
Lady cempluk sebagai istri yang pangerten, trenyuh melihat peristiwa ini. Maka teringat anting-antingnya yang tinggal sebelah, karena sebelahnya sudah hilang entah kemana. Dengan ndelik-ndelik ia menjual anting-antingnya yang sebelah itu ke toko emas tanpa sepengetahuan suaminya.
Besoknya waktu sore, setelah John Koplo pulang dari kerja. Lady Cempluk ngajak bicara. “ee, Mas, niki kangge sampeyan” Lady Cempluk menyerahkan kresek hitam yang berisi Ban sepeda baru. Entah kebetulan atau tidak, John Koplo juga menyerahkan kresek hitam tapi kecil untuk sang istri.
Lalu keduanya penasaran dan langsung membuka.
 Mak, blaiiik.  Lady Cempluk mukanya seketika langsung tratap kaget. Ternyata isinya anting-anting baru yang hanya bersebelah seperti punyanya yang hilang kemarin.
Disisi lain John Koplo hanya bisa cengar-cengir. “Ngapunten Dhek, Sepedhane kula sade kok.. kagem tumbas anting-anting.. he”.
Akhirnya mereka berdua tertawa bersama. Sejak kejadian itu, mereka sudah tidak lagi kekok atau pekewuh lagi, bahkan selalu memberitahu bila mau mengerjakan sesuatu.




Kentut penyegar
Kisah nyata ini terjadi beberapa hari yang lalu, saat salah satu paguyuban Literasi dikota solo mengadakan acara dialog dan mengundang paguyuban-paguyuban yang sejenis dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa timur.
Berawal dari perdebatan sengit, John Koplo terus nrocos mengungkapkan berpuluh-puluh pendapatnya. Belum habis kata-kata, sudah disaut oleh Gendhuk Nikole yang berasal dari Pasuruan itu. Tidak mau kalah, Lady Cempluk juga ikut urun rembug yang pendapatnya jauh berbeda dengan teman-temanya. Tidak bisa terpungkiri, Perdebadatanpun mulai memanas dan tak terelakan, ibarat api sudah menyala-nyala yang digrujug lagi dengan bensin. “Mak wuus..”
Beberapa saat kemudian, “tiiit..tit.” suara kentut dari salah satu peserta yang kayaknya kurang  ikhlas dan ditahan-tahan, tapi bentengnya kurang kuat.
Perdebatanpun mandheg klakep saknalika, semua peserta tercengang dan saling berpandang-pandangan. Salah satu peserta menutup mulutnya yang udah mulai kebelet tertawa, diikuti oleh peserta yang lain. Para peserta tidak tahan lagi ngampet, satu persatu mulai tertawa kecil dengan muka memerah yang akhirnya menular ke yang lainnya. Akhir kata, keadaan berubah menjadi dingin dengan ketawa penuh kelucuan yang tidak bisa dibendung lagi. 
Sementara itu, Tom gembus dari Blora yang tadinya hanya duduk  ndlongop saja terpesona mendengarkan debat penuh takjub. Kini, hanya bisa ndingkluk. “kat mau kok serius terus, tak entut sisan kapok kabeh kowe.” Batinnya. 


HP-ne Ngedrop
Walaupun dibanjiri HP murah nan canggih, namun masih ada saja yang mempertahankan HP jadul dengan batunya yang ngedropan.
Kondisi yang seperti ini bisa membuat kesal orang yang sedang menelpon,  seperti yang dialami Lady Cempluk, gadis Teras, Boyolali yang sudah bertunangan dengan John Koplo ini.
Ceritanya pada hari sabtu siang sehabis kerja, sepasang remaja itu merencanakan pergi ke Nonongan, Solo, untuk keperluan sauvenir pernikahan mereka.
“Gimana, Mah. Ni aku dah siap.” Sms Koplo sembari keluar dari Pabriknya.
Beberapa menit kemudian HP Koplo berdering, dan ia-pun mengangkatnya.
Pah, iki aku wis OTW, Oke Tunggu Wae di toserba Kartasura yang tuut... tuut...tuutt...”Suara Cempluk putus karena HP-Koplo mati.
Asem.. ngedrop maneh cah”. Grundelan Koplo.
Namun dengan segera Koplo menuju toserba Kartasura yang sebenarnya ada dua toserba yang hampir berjejer itu.
“Tak tunggune kene wae.” Batin Koplo sembari menunggu di depan toserba barat bengkel.
Namun lebih dari setengah jam menunggu, sang kekasihpun tak jua bersambut. Tiba-tiba Koplo dikagetkan oleh tetangganya, Nikole.
Lho, Plo. Ngapa neng kene?” Tanya Nikole.
Ngenteni  Cempluk, Mbak”. Jawab Koplo.
Setelah basa-basi, akhirnya Koplo memberanikan diri untuk meminjam HP- Nikole. Dan benar, hanya 5 menit berlalu Cempluk yang tadi menunggu di swalayan timur bengkel datang menemui Koplo. Nikolepun berakhir.
Dengan muka kecut Cemplukpun mengucap, “Kowe iki kebangeten og, mas. HP satus ewu wae oleh anyar, masak HP ngedropan kaya ngono isih di gawa wae.”
Koplo hanya bisa pringas-pringis mendengarkan omelan calon istrinya itu. Oalahh.. melas tenan uripmu, Plo.


Kapusan Dolar
Hadirnya internet banyak mengubah cara orang dalam mencari rezeki. Begitu halnya dengan John Koplo, guru di salah satu SMK swasta Boyolali ini yang juga ingin menangkap peluang tersebut. Beberapa pekan lalu, seperti biasa Koplo ikut nimbrung bersama guru IT alias Informatika dan Teknologi.
“Pak, sekarang nyari dolar lewat HP bisa lho?” Jelas guru IT, Tom Gembus.
“Caranya gimana, Pak?” Tanya Koplo sembari mengambil HP androidnya.
Gembuspun menerangkannya kepada Koplo, bahwa pertama-tama harus mengunduh aplikasinya dulu, lalu memainkan game atau membuka aplikasi tersebut setiap hari. Dengan sendirinya jumlah dolar akan bertambah. Koplopun segera mencobanya. Beberapa saat kemudian Koplo nyelethuk, “Eh..Pak Gembus, ini sudah muncul 0,300 dolar.”
Gembuspun tersenyum karena telah berhasil membimbing temannya tersebut.
“Wah lumayan, bisa untuk sambenan ini.” Batin Koplo semangat.
Kegiatan itupun berlalu sampai di rumah. Besuknya waktu istirahat sekolah, Koplo kembali menemui Gembus.
“Pak, punyaku sudah 1,220 dolar.” Ucap Koplo dengan bangga.
Mendengar perkataan Koplo, Gembus merasa curiga. “Pak, jenengan download-nya di sekolahan kan?” Tanya Gembus.
“Bukan Cuma di sekolah saja, Pak. Tapi di rumah saya selalu download dan memainkannya. Makannya dolarku cepat naik.” Jawab Koplo kemaki.
“Oalah, Pak. Eman-eman pulsanya. Poin dolar ini hanya untung jika digunakan melalui Wifi, jadi pulsa kita tidak kelong.” Timpal Koplo.
Ternyata benar, setelah Gembus mengecek HP Koplo, pulsanya hanya tersisa tujuh ribuan.
“Waduh.. padahal tiga hari yang lalu baru saja aku belikan pulsa lima puluh ribu.” Ucap Koplo sembari mengeplak bathuk-nya sendiri. Kuaciaann deh …  


Kerang Pukul
Wanita mana yang tidak menginginkan kulitnya halus? Pernyataan itulah yang membuat banyak produk atau makanan laris manis karena berkhasiat bisa menghaluskan kulit.
Demikian halnya dengan kerang, makanan laut yang kini mulai tersebar di wilayang Solo Raya, termasuk depan kampus terkenal di pabelan, Sukoharjo. Berita inipun segera menyebar ke berbagai telinga mahasiswa dikampus, termasuk sobat karib, Cempluk dan Nikole.
 Pluk, aku gek wingi bar tuku kerang, jebul gurih og.” Ucap Nikole.
Apa ora amis, Ndhuk?” tanya Cempluk.
Ora ki. Malah jare bisa ngaluske kulit barang.” Jelas Nikole.
Mendengar penjelasan itu, Cempluk langsung terangsang ingin mencicipinya.
Ndhuk, mengko bar magrib ke kos ku ya, tak traktir kerang kuwi.” Pinta Cempluk dengan segera.
Benar, bakda maghrib Cempluk bergegas menuju penjual kerang yang dimaksud.
“Yang pedhas, Pak, lima ribu.” Kata Cempluk sembari mengatungkan uang.
“Terimakasih, Mbak” Jawab penjual kerang.
Sampai di kos, Cempluk mengirim pesan sms ke Nikole.
“Ndhuk, kerange dah siap.” Sms Cempluk.
“OK. Bro. OTW.” Balasan Nikole yang bermaksud sedang perjalanan “On The way”.
Sambil menunggu kedatangan Nikole, ia-pun mencoba kerang tersebut.
 Kok mbukake angel, ya.” Pikir cempluk.
Tanpa banyak waktu, ia segera mengambiil pukul untuk mengepruk cangkang kerang.
Beberapa menit berselang, Nikole datang. Dan apa yang terjadi?
Jebul rasane gurih pedhes ya, Ndhuk?” Sambutan Cempluk sambil memukul kerang dengan pukulnya.
“Masya Allah, Cempluk.” Jawab Nikole kaget dan langsung ngguyu kemekelen.
  Cempluk hanya plingak-plinguk bingung melihat tingkah laku temannya.
“Kerang kuwi ora dipukul, Pluk. Nanging dibukak. Ujunge dibenggang nganggo kuku indhik-indhik.” Jelas Nikole sambil mempraktekkan.
Cemplukpun hanya bisa ndomblong.


Manten Kembar tukar Tempat
Kejadian langka ini terjadi pada hari yang langka pula, ketika tanggal 12-12-2012 lalu.  Dimana banyak pasangan yang ingin menikah pada tanggal itu. Begitu juga dengan tokoh kita ini. Kakak beradik yang juga sudah mempunyai pasangan. Ladi Cempluk dengan John Koplo dan Gendhuk Nicole dengan Tom Gembus.
Kakak beradik yang tinggal di Nusukan, Solo ini ngotot untuk bisa menikah ditanggal yang cantik itu. Akhirnya, setelah melalui rapat di keluarga besarnya, orang tua Cempluk dan Nicole memutuskan untuk menikahkan anak-anaknya bareng dihari yang sama. Merekapun  menyewa salah satu gedung paling ngejreng di Solo.   
Setelah waktu yang ditentukan tiba, saat kedua pasangan memasuki panggung pengantin dan duduk di kursi dampar kencana. Mak blaiik, alangkah kagetnya MC pambiwara yang mengetahui kejadian itu, Karena  menurut adat, posisi kedua pasangan itu kliru.
Pak, ingkang mbarep wonten tengen, lheh!.” Kata MC pambiwara kepada salah satu pamong petugas.
Pamong petugas itu langsung nginclik menemui orang tua pengantin dan menerangkannya. Karena takut terjadi dengan hal-hal sing ora-ora, maka orang tua pengantin meminta untuk bertukar tempat.
Terang saja, saat kedua pengantin pindhah enggon, para tamu yang hadir tertawa ger-geran.
Kedua pasangan pengantin hanya diam sambil ikut tertawa kecil.
Koplo yang sering cengengesan, membisiki telinga cempluk.Untung yang ketukar cuma tempat duduknya, bagaimana kalau pasanganya?”
Langsung saja Cempluk njiwit paha Koplo. Koplo hanya bisa mlengeh dan klecam-klecem saja.


Opore Mambu
“Tak ada lebaran tanpa opor ayam”. Begitulah semboyan keluarga  John Koplo yang berdomisili di Kartasura, Sukoharjo ini. untuk itu, satu hari sebelum bakda kemarin, ibu Koplo, Cempluk menyuruh anak remajanya menyembelih ayam.
Plo, babon blorok sing ning njero kranjang kae belihen” Pinta Cempluk.
Mendengar itu, Koplo langsung semangat untuk mengambil pisau di rak belakang.
Setelah pisau diwungkal sampai landhep, bersegeralah Koplo mendatangi ayam yang dimaksud.
“Bismilahirohmanirohim..” Doa Koplo saat mau menyembelih.
Beberapa saat kemudian, Ayampun siap untuk dikum dengan air panas dan bisa diberodholi bulunya.
Malamnya sehabis takbiran, Koplo langsung menuju dapur dan segera ngungkapi tutup wajan.
 “Le, yen njikuk sisih wae?” Ucap Cempluk.
Dasar koplo orang yang tidak nggagasan. Pesan ibunya sama sekali tidak digugu.
Njikuk pinggir, padune ora oleh mangan pupune.” Batin Koplo.
Esuk harinya saat akan pergi ke lapangan untuk menunaikan sholat ID, Cempluk mengambil opor untuk sarapan keluarga. Kagetlah Cempluk ketika nyiduk opor ayam, terlihat duduh opor agak kenthel. Ia mencoba mencicipi, dan badalahh.. ternyata benar dugaanya, rasa opor berubah menjadi kecut alias mambu atau basi.
Dengan muka yang mbesengut, Cempluk langsung nyemprot anaknya.
Koplo, kowe ki piye? Gara-gara kowe opore sak wajan dadi mambu kabeh”. Dakwa Cempluk tanpa tedheng aling-aling.
Koplo kaget bukan kepalang. Ia tidak tahu kalau mangambil makanan bersantan yang sudah dihangatkan itu tidak boleh dengan mengeker-ngeker. Harus diambil yang bagian pinggir agar esuknya opor tidak basi. Menyadari salah, Koplo hanya cengar-cengir sembari mendengar luapan kejengkelan ibunya. Oalah, ora sida bakdan niee...


Prahara Kelengkeng Bandungan
Hari libur merupakan hari yang tepat untuk merefres pikiran. Namun kadang kala, bisa juga menjadi momok tersendiri bagi sebagian orang, Seperti yang dialami oleh bapak-ibu guru muda di salah satu SMK swasta Boyolali ini. Waktu liburan beberapa pekan yang lalu, mereka berkunjung ke Bandungan. Setelah mubeng-mubeng di Candi gedong sanga dan makan mereka memutuskan untuk mampir ke pasar buah sebelum pulang.
 Sekilo pinten, Bu?” Tanya Koplo kepada pedagang, sebut saja Cempluk.
25 ribu, Mas.” Jawab Cempluk.
Setelah nyang-nyangan disepakati harga per kilonya 22 ribu. Akhirnya Koplo, Gembus, Nikole dan teman-teman lainnya segera merogoh kocek mereka masing-masing. Dan merekapun ngacir melakukan perjalan pulang ke rumah.
Sampai di tengah jalan, ndilalah mereka keslidan dalan. Koplo yang berboncengan dengan Gembus segera berhenti di pinggir Jalan dan mengebel Nicole. Mereka menunggu teman-temannya di salah satu bangjo Salatiga.
Sembari menuggu teman-temannya, Koplo dan Gembus menyempatkan mencicipi kelengkeng.
Satu-demi satu mereka mengupas kulit dan melahap buahnya, namun yang mereka rasakan hanya kecut. Awalnya mereka hanya berfikir beberapa saja yang kecut, tapi ternyata semua buah berwarna pucat yang menandakan buah akan busuk.
Waduh, Pak. Kapusan niki.” Gembus Kaget.
Wah.. Nggih niku, Pak. Padahal tadi saya nyicipi manis semua.” Ucap Koplo.
Tidak lama kemudian, teman-teman yang lain datang dan mendengar cerita Koplo. Merekapun segera membuka kantong kresek wadhah kelengkeng. Dan ternyata benar, kelengkeng mereka kecut semua.
Koplo baru teringat bahwa waktu mencicipi, ia mengambil kelengkeng yang ada didepan penjual. Namun saat pedagang menimbang, ia mengambil kelengkeng dari belakangnya yang diwadhahi tumbu.
“Lha, saya kira depan belakang sama og, pak.” Koplo mencoba menjelaskan.
Teman-temannyapun memakluminya dan mereka menganggap ini sebagai pelajaran untuk tidak kapusan lagi dilain hari. Ealaahhh...


Sholat Tandingan
John Koplo adalah salah satu siswa dari SMK swasta di Sukoharjo. Sejak duduk dikelas XII ia selalu rajin menjalankan ibadah sholat berjamaah, termasuk sholat dhuhur yang ditunaikan di masjid sekolah.  Seperti pada beberapa minggu yang lalu Koplo sempat ketinggalan sholat waktu jam istirahat ke-dua karena harus mengerjakan tugas sekolah terlebih dahulu.
“Tak tinggal sholat sek, Ya.” Pamit Koplo kepada temannya.
Sampai di masjid ia pun segera berwudhu dan masuk. Kebetulan siang itu sang imam tidak menempati ruang imam dan hanya di pinggir sebelah kiri masjid. Ini adalah efek dari sang imam yang sebenarnya makmum masbuk yang kemudian menjadi imam karena pundaknya ditepuk. Karena itu lah posisi makmum mengikuti imam di belakangnya sampai belakang. Ini membuat ruang masjid tidak penuh, hanya diisi yang sebelah kiri saja.
Dari situlah Koplo timbul inisiatif untuk menegakkan sholat sendiri di ruang masjid yang sebelah kanan, bersebelahan dengan jamaah yang tadi.
Dhik, sholat kana wae.” Ajak Koplo kepada makmum yang lain yang kebetulan adik kelasnya.
Beberapa adik kelas itu lalu menerima ajakan Koplo, dan akhirnya membentuk formasi sholat.
“Shof diluruskan.” Pinta Koplo.
Namun sebelum takhbiratul ihram dimulai, tidak disangka-sangka datanglah Tom Gembus guru Koplo yang ingin menunaikan sholat dhuhur juga. Tanpa banyak bicara Gembus langsung mendekati Koplo.
“Plo.. Satu masjid itu hanya boleh satu jamaah saja.” Jelas Gembus.
“Apa iya ta, Pak?” Koplo kaget.
 Kaya politik wae, ngedeke tandingan.” Lanjut Gembus dengan tersenyum.
Koplopun hanya bisa cengar-cengir sendiri mendengar penjelasan dari gurunya itu. “Tujeknen durung dimulai.” Grememeng Koplo.
Adik-adik kelas Koplo yang akan menjadi makmumpun nyekikik sendiri merasa kapusan oleh tingkah sok tau koplo. Ealahh...


Tangisan Bioskop
Beberapa hari yang lalu, salah satu bioskop ternama di Solo memutar film atas novel yang pernah ditulis oleh sastrawan besar negeri ini.
Film yang mengangkat sejarah tenggelamnya sebuah kapal dengan dibumbuhi kisah cinta yang harus hanyut disapu gelombang adat budaya itu, menjadikan para penonton berduyun-duyun mendatangi bioskop. Begitu juga dengan sepasang kekasih di sebuah perkantoran swasta Solo ini, Cempluk dan Koplo, yang juga sudah ngampet nonton.
“Cin, besuk minggu jangan lupa jemput cinta jam 11.00 teet, ya.” Cempluk ngelingke Koplo lewat sms-nya.
“Iya, Say. Pasti cinta tepat waktu.” Jawab Koplo.
Hari sabtupun berganti minggu. Dengan motor lanangnya, Koplo menghampiri kekasihnya, Cempluk. Akhirnya jam 11.30 Wib. Mereka sampai di salah satu mall besar di kota Bengawan dan mulai ngantri tiket.
Jam 12.00 tepat, mereka dan penonton lainnya akhirnya bisa menikmati film yang mereka tunggu-tunggu.
Keadaanpun hening ketika film diputar. Saking terenyuhnya menonton  film itu, Cempluk meneteskan air mata dan mengambil secuil tisu dalam kantongnya.
 “Huks.. huks.. ” Suara Cempluk sambil merapatkan kepalanya ke lengan Koplo.
Ampun nangis, Dhik, kan Cuma film lho.” Jawab Koplo.
“Huks..huks.. Huks..” Tangisan cempluk masih terdengar lirih.
Saat itu juga penonton sebelahnya yang dari tadi memperhatikan Cempluk nyelethuk, “Mbake ki, mung ngono wae nangis”.
Tiba-tiba beberapa orang yang mendengar suara itu langsung tertawa dan memandang pasangan Koplo dan Cempluk. Walaupun keadaan remang-remang, Koplo tak bisa menahan rasa malunya. Ia hanya bisa cengar-cengir sendiri. Ealaah..., ceweknya yang polah, tapi cowoknya yang kepradah niee..


Tragedi Ujian Guru
Kemajuan teknologi telah menuntut para guru untuk bisa mengoperasikan komputer, termasuk juga Pak John Koplo, guru di SMK Sukoharjo yang terkenal dengan gaptek(gagap teknologi) ini. Pasalnya UKG(Uji Kopetensi Guru) yang dilaksanakan beberapa pekan lalu juga menggunakan perangkat komputer.
Sesuai jadwalnya, Pak Koplo dan guru lain duduk di depan komputer yang sudah disediakan, sembari mendengarkan petunjuk dari admin, Tom Gembus.
“Bapak ibu guru sekalian, untuk mengerjakan soal UKG ini sangat mudah, hanya dengan mengeklik jawaban. Jika sudah selesai semua, silahkan klik gambar lima jari diatas soal. bla...bla...bla...” Terang Gembus. Selanjutnya para guru terhanyut oleh soal-soal yang dibatasi waktunya.
Satu jam kemudian setelah dirasa selesai mengerjakan, Koplo mengeklik gambar lima jari. Muncullah jumlah betul dan salah terhadap soal yang sudah dikerjakan.
“Pak, nilai saya sudah muncul.” Tanya Koplo mengagetkan guru yang lain.
Gembus langsung bergegas ke tempat Koplo dan berucap, “Jawaban yang benar 36, Pak. yang salah ada 44.
Mendengar itu Koplo kaget. “Lho, kok jumlah jawabannya banyak baget, Pak?” Tanyanya kemudian.
“Soalnya ada 80, Pak.” Jawab Gembus.
“Tadi soalnya cuma 60 itu, Pak.” Koplo masih ngeyel.
Usut punya usut ternyata Koplo tidak menahu kalau soal nomor 61 sampai 80 itu ada dibawahnya dengan menurunkan scroll atau penurun halaman.
Keadaan yang serius, saknalika berubah menjadi gelak tawa, ditambah lagi ada salah satu guru yang nyelethuk, “ Maklum, Pak. Guru masa lalu.”




Berkah Abu Gunung Kelud
Gunung Kelud beberapa pekan yang lalu ternyata berdampak besar di seluruh pulau Jawa, karena abu vulkaniknya menyabar ke berbagai daerah, termasuk Kota Boyolali, tempat John Koplo tinggal. Saat pagi menjelang, depan rumah Koplo sudah penuh dengan abu padahal ia harus berangkat kerja ke sebuah pabrik tekstil yang berada di Kartasura.
Pemuda yang masih perjaka ini sengaja mengambil beberapa masker sisa tragedi Merapi tahun lalu di almarinya. Satu untuk berangkat dan satunya untuk pulang.
Setelah semua sudah siap, akhirnya seperti biasa ia menuju ke terminal Boyolali yang tidak jauh dari rumahnya untuk menunggu Bus. Bersama dengan penunggu bis yang lainnya, ternyata hanya beberapa orang yang memakai masker.
Koplo yang membawa masker dobel merasa iba terhadap gadis disebelahnya, Sebut saja Cempluk.
Mbak, kok mboten mbeta masker ?”tanya Koplo.
Mboten, Mas. Lha ajeng tumbas pun telas sedanten.”Jawab Cempluk.
Dengan kesempatan ini, Koplo langsung mengeluarkan Masker yang satunya dari Tas.
Niki Mbak, kula mbeta dobel.” Tawaran Koplo sambil memberikan masker tadi.
“Trimakasih, Mas.” Timpal Cempluk dengan kikuk.
Dari pemberian masker tadi akhirnya pembicaraan mereka melanglang buana ke mana-mana termasuk perkenalan.
“Lha Mbak Cempluk kerjane di mana?” Tanya Koplo lanjut.
“Toserba Ampel, Mas.”Jawab Cempluk.
Akhirnya Koplo memberanikan diri untuk minta nomer HP Cempluk. Karena pekewuh atau terpaksa, Cemplukpun mau saja menuruti permintaan tadi. Dan karena bis sudah keluar dari terminal, Cempluk segera  berpamitan kepada Koplo dan wajahnya segera berlalu.
Koplo hanya bisa berkata dalam hati dan senyam-senyum sendiri, “Alqamdulillah, abu yang membawa berkah.” 


Es Tombok Campursari
Penjual jajanan yang kreatif sudah pasti akan mengundang anak-anak untuk menghampirinya. Seperti yang dilakukan Tom Gembus, salah satu penjual es keliling yang beberapa hari lalu berjualan di desa John Koplo, Kartasura. Gembus dengan lincah memainkan alat musik mbelero, alat musik yang digunakan untuk drum band, demi menarik simpatik anak-anak.
“Ting..ting....ting..ting....ting..” Bunyi notasi lagu “tukang becak” yang segera membuat anak-anak sekitar berkerumun mengelilinginya.
Beberapa anak membeli es tersebut, namun banyak yang tidak membeli karena memang berat diongkos. Kebetulan saat itu Koplo baru pulang dari kerjanya.
Lik, tukokne es campurari.” Rengek Nicole, keponakan Koplo.
Ya, Nduk. Sek ya.” Jawab Koplo.
Koplo keluar rumah untuk melihat penjual es yang kebetulan mandeg di timur rumahnya.
Lho kok mung padha nonton thok, ora tuku?” Tanya Koplo kepada anak-anak tetangga.
Ora duwe dhuwit og, Mas.” Jawab salah satu anak tadi.
Yowis, Pak. niki mang sukani es setunggal-setunggal, nggih.”
Mendengar itu, dengan cekatan Gembus meracik es campursari, es yang menggabungkan bahan dari wedang asle dengan tambahan cincau, kacang, nangka, jenang mutiara dan emping.
Pinten, Pak?” Tanya Koplo.
“Tiga puluh enam ribu, Pak.” Jawaban Gembus mengagetkan Koplo.
“Lha satunya hargane berapa ta, Pak?” Tanya Koplo heran.
“Empat ribu, Pak.” Jawab Gembus dengan menunjuk harga yang sudah tertulis di gerobak belakang. Koplo baru tahu tulisan itu karena tadi ia datang dari arah depan, jadi tulisan harga tidak kelihatan.
Akhirnya Koplo terpaksa menggagahi dompetnya sembari grundelan sendiri,”Asemik.. tak kira regane mung sewunan.”


Huruf Tekek Gratisan

Seumur-umur, baru kali ini John Koplo salah satu warga Karanganyar berurusan dengan polisi. Bukan perkara tilang, melainkan perkara mencari SIM C.
Ia jadi penasaran setelah diberi tahu oleh Bapaknya kalau tes mencari SIM itu salah satunya bisa membaca huruf tekek.    
Setelah sampai ditempat tujuan, Koplopun mulai Tanya kepada pak Polisi yang bertugas. Setelah mengambil berbagai macam formulir pendaftaran, Koplo masuk dalam ruang tes penglihatan.
“Pak, Saya mau tes membaca huruf tekek?” Koplo langsung aja menyerobot tanpa tedheng aling-aling.
“Betul sekali, Pak”. Jawab Polisi Gembus dengan senyum.
Gembuspun segera membuka buku tes buta warnanya.
Ooo..ini ta yang dinamakan huruf tekek. Ini sih ga mirip sekali dengan tekek, tapi lebih mirip dengan telur tekeknya.” Batin Koplo.
“Coba sekarang disebutkan. Ini angka berapa, Pak?” Polisi Gembus memulai mengetes.
“19, Pak.” Jawab Koplo.
“Kalau yang ini” Tanya Polisi Gembus lagi.
“78, Pak” Koplo lagi-lagi menjawab dengan benar. Dan begitu seterusnya sampai 10 pertanyaan.
“Sudah cukup.” Polisi Gembus mengakhiri pertanyaannya dengan menutup buku.
“Gimana tesnya, Pak?” Tanya Koplo penasaran.
“Bagus-bagus. Betul semua. Jadi sampeyan dinyatakan lolos.” Gembus memberi kesimpulan.
“ha..ha..ha.. alqamdulillah.. terimakasih sekali, Pak Polisi.” Koplopun menyalami Gembus dan langsung nyelonong keluar, tetapi langsung dipenggak oleh Gembus.
“Lho, Pak, Pak.. Sampeyan mau kemana?” Bengok Gembus.
“Mau tes yang berikutnya lagi, Pak” Jawab Koplo mantap.
“Ini administrasinya di bayar dulu.” Lanjut Gembus.
“Lho, bayar? Kan jawaban saya betul semua, Pak.” Koplo kaget dan ngeyel.
“Justru kalau betul itu malah mbayar, Pak!” Jawab Gembus.
Setelah dijelaskan lagi, Koplopun segera merogoh kantongannya.
Yang pada ngantripun ngekek-ngekek tak tertahankan.


KAPUSAN TENAGA DALAM
Bagi sebagian orang, hal-hal yang berbau mistik masih dipandang sebagai sesuatu yang memiliki daya tarik tersendiri. Begitupun dengan Dul Kentut, salah satu pemuda di Karanganyar ini. Buktinya saat bekerja di Purwokerto, ia rela membayar tigaratus ribu untuk mengikuti pengisian tenaga dalam.
Kebetulan beberapa pekan yang lalu ia mengambil cuti untuk pulang ke desa. Dengan kemaki ia membeberkan ilmunya kepada sobat karibnya, Jim Belong.
 Jim, saiki aku nduwe tenaga dalam.” Pamer Dul Kentut.
Weh, apa iya, Dul. Endi buktekna.” Jim Belong tidak percaya.
Dul Kentut bergegas mengambil telur pitik jawa yang telah dipersiapkan. Ia-pun menceritakan aturan mainnya kepada Jim Belong. Dengan mengambil nafas panjang dan membaca mantra, akhirnya Dul kentut memberikan telur itu kepada Jim Belong. Dul Kentut mengangguk, yang artinya telur sudah bisa diremas. Jim Belong mulai menggenggam telur itu dengan sekuat tenaga. Dan benar, telur tidak pecah.
Besuknya, berita mengenai tenaga dalam sudah tersebar diseluruh pemuda-pemudi desanya, termasuk Yu Cebret, mahasiswa jurusan fisika di Universitas ngetop sak Solo itu.
Dengan segera Yu Cebret mengajak Jim Belong untuk bertemu Dul Kentut.
Dul, iki Yu Cebret pengin ngerti sing kaya gek wingi.” Tukas Jim Belong.
Dengan percaya diri Dul Kentut segera melakukan hal yang diminta Yu Cebret. Yu Cebret hanya tersenyum, dan sedikit memberi komentar.
“Mas Dul Kentut, ini aku juga bisa tanpa mantra.” Tanggapan Yu Cebret sembari melakukan hal yang sama seperti Dul Kentut.
 “Menurut hukum alam, cairan di dalam telur akan tetap jika ditekan dari segala arah.” Tambah Yu Cebret. Jim Belong dan Dul Kentut hanya bisa plenggang-plenggong saja. Ealah.. tiwas wis ngetokke 300 ewu, jebule kapusan. Makannya yang normal-normal sajaa...


Nomor HP Misterius
Hilangnya barang yang dicintai otomatis akan mengundang kekesalan yang teramat dalam. Apalagi diketahui siapa pelakunya, seperti yang dialami John Koplo, guru di Karanganyar ini. Seperti biasa beberapa pekan yang lalu, John Koplo berangkat ke sekolah. Setelah sampai dan masuk kantor, ia didekati Cempluk, temannya.
“Pak, HP jenengan gimana ta? Kok saya telpon salah sambung?” Tanya Cempluk.
“Walah.. HP saya hilang, Bu. Satu mingguan yang lalu.”Jawab Koplo melas.
“Lho.. Kok dihubungi ada yang mengangkat, ya?” Lanjut Cempluk.
Mendengar jawaban dari Cempluk itu, dada Koplo langsung panas. Ia beranggapan bahwa orang yang menerima telepon dari Cempluk itulah yang mencuri HP-nya. Tanpa ba..bi..bu.., Koplo langsung memencet nomernya yang dulu.
“Pak sampeyan siapa? Dan rumahnya dimana?” Tanya Koplo mengagetkan.
“Maaf ini siapa ya?” Suara dari seberang, sebut saja Gembus.
“Jangan banyak tanya, Pak. ini nomer saya yang hilang dengan HP-nya. Berarti bapak yang mengambil HP saya.” Gertak Koplo.
Nada marahpun sempat terlontar dari kedua belah pihak. Teman-teman Koplo hanya bisa mendengarkan penuh takut. Tiba-tiba Nikole, salah satu teman guru menghentikan obrolan Koplo dan Gembus.
“Pak. Belum tentu ia yang mengambil HP bapak.” Tegas Nikole.
“Sudah jelas, Bu. Ini benar nomer saya. Walau ia ngakunya beli di konter.” Eyel Koplo.
“Belum tentu, Pak. Karena nomer yang sudah tidak aktif itu akan didaur ulang lagi oleh perusahaan kartu HP tersebut.” Jelas Nikole.
Mendengar keterangan dari Nikole, Koplo hanya plenggang-plenggong saja meski sejatinya belum bisa menerima penjelasan tersebut. Rekan-rekan yang melihat hanya bisa mengelus dada dan menggelengkan kepala. 



Pengajian kok Fitness..

Salah paham selalu menuai kelucuan tersendiri, yang begitu menggoda untuk dikisahkan kembali. Seperti cerita yang sudah terjadi tiga tahunan yang lalu ini.

Suatu saat sekelompok remaja masjid di Karanganyar ini, setelah mengaji mereka berkumpul di depan masjid untuk sekedar guyonan. Maklum masih ABG.
Disaat kumpul-kumpul itu, timbulah ide dari Tom Gembus.
Cah, sesuk minggu nge-Gym gelem ora? Aku ngerti nggone.” Tanya Gembus semangat.
Wah cocok kuwi, Mbus. setujuu!” Jawab teman-temannya kompak termasuk Koplo.
 “Wah.. teman-temanku ini calon penghuni surga semuanya. Ngajak ngaji terus. Cemungut-cemungut” Batin Koplo sambil lheyeh-lheyeh.
Hari yang ditunggupun datang. Mereka siap dengan kendaraan berboncengan.
Kurang sapa, Cah?” Tanya Gembus.
Kurang Koplo, sebentar lagi jare. Mau wis tak SMS.” Jawab salah satu temannya.
Tak lama kemudian datanglah Koplo dengan baju koko plus kupluk putihnya.
Gembus dan teman-temanyapun hanya mlongoh terhorok-horok.
Lho, Plo. Ora salah nganggo klambi, ta?” Tanya Gembus penasaran.
“Lho, Ada yang salah, ta? Kalau pengajian yang ngisi AA Gim itu biasanya yang hadir buanyak. Makanya harus rapi. Kalian malah Cuma kaosan.” Dengan PD-nya Koplo menjelaskan.
“Pengajian AA Gim? Siapa yang bilang? Kita itu mau nge-Gym alias fitness, bukan pengajian AA Gim!” Jelas Gembus sambil ngampet ngguyu.
Wajah Koplo berubah jadi merah seperti bawang merah karena kisinan. Gembus dan teman-temannya pun menyambutnya dengan tertawa ger-geran.
Dengan terpaksa Koplo kembali ke rumah untuk ganti baju.
Sejak saat itu, Gembus dan kawan-kawannya memanggil Koplo dengan sebutan AA Gim.
Hehe… wah selamat ya, sudah jadi ustad nie….
 


Rumus Palsu 
“STM kok sinau”. Itulah motto para siswa kelas 2D jurusan otomotif di salah satu STM(sekarang SMK)Karanganyar, 8 tahun yang lalu ini. Sayangnya motto itu terlanjur meresap ke setiap sendi-sendi tubuh mereka, sehingga hal yang fatal-pun harus mereka hadapi.
Saat ujian kenaikan kelas, pelajaran PDKM (perhitungan Dasar Kontruksi Mesin) yang terkenal dengan rumus-rumusnya yang njlimet pun di mulai.
Ruangan full cowok  yang berisi campuran kelas 1 dan kelas 2 ini mengerjakan soal dengan thingak-thinguk, termasuk Tom Gembus, salah satu siswa otomotif 2D. Saat pengawas terlena, para siswapun saling tirunan bak rantai makanan.
Mbus, nomer 4 wis dadi rung?.” Bisik teman Gembus di belakangnya.
Wis, ndang cepet tirunen.” Jawab Gembus lirih setelah nirun jawaban dari teman lainnya.
Setelah bel berbunyi 3 kali yang berarti waktu selesai, maka pekerjaan merekapun dikumpulkan. Dengan wajah penuh lega dan tanpa dosa, para siswa keluar meninggalkan ruang ujian.
Tetapi betapa kagetnya Tom Gembus dan teman-teman lainnya ketika digiring ke ruang BP satu minggu kemudian.
“Siapa yang pertama kali menulis jawaban nomer 4 romawi 2?” Pertanyaan Koplo dengan muka serius.
Semua siswa hanya diam dan plonga-plongo saja.
“JAWAAB..”  Teriak Koplo dengan tangan menggebrak meja. “DEEERRR”
“Ja..Jawaban yang mana, Pak?” Gembus mengawali dengan suara gemeteran.
Akhirnya Koplo menyerahkan hasil pekerjaan PDKM mereka. Terlihat bahwa jawaban nomer 4 romawi 2 yang mereka tulis adalah Ko=p+10 / 5t -r=E5.
Setelah diamat-amati, mereka baru sadar kalau rumus itu bisa dibaca “Koplo Stres”, yang tak lain adalah nama guru PDKM-nya sendiri.
Setelah tak ada yang mengaku, siapa yang menciptakan rumus itu, merekapun terancam dengan pemberian Surat Peringatan beserta surat panggilan orang tua.   


Siulan Mahasiswi
Ora obah ora mamah”, itulah semboyan hidup John Koplo, mahasiswa kampus swasta Solo yang ngekos di Pabelan. Selesai jam kuliah ia langsung ke warung Mi-So dekat kampusnya untuk menjadi pramusaji. Beberapa minggu yang lalu seperti biasa ia meladeni para pelanggannya.
“Mas, mi ayamnya tiga, bakso dua, minumnya es jeruk semua.” Ucap Lady Cempluk salah satu pembeli.
“Ya, Mbak.” Jawab Koplo.
Koplopun bergegas menyiapkan pesanan. Beberapa menit kemudian Koplo kembali dengan membawa tepak berisi pesanan Cempluk. Gerombolan Cempluk yang semua mahasiswi itupun segera melahap sembari ngobrol ngalor-ngidul. Sementara Koplo masih disibukkan dengan pesanan pembeli yang lain.
Ketika Koplo melintas di samping meja Cempluk, ia mendengar suara siulan.
“Siiiuuuiiittt...” Suara siulan dari meja Cempluk.
Mendengar suara tersebut jantung Koplo langsung tratapan.Asem-ik, mbake nyingsoti aku.” Batinnya.
Ia segera berbalik arah menuju meja Cempluk, dan berucap, “Wah mbake bisa saja. Gimana Mbak, ada yang bisa saya bantu?”
Cempluk dan teman-temannya hanya saling pandang, lalu Cempluk menyahut, “Maksudnya, Mas?”
“Lho, yang tadi menyiuli saya?” Tanya Koplo.
Mendengar pertanyaan itu, Cempluk dan teman-temannya langsung menundukan kepala dengan wajah ngampet ngguyu. Tiba-tiba Nikole salah satu teman Cempluk nyeletuk, “Maaf, Mas, tadi bunyi sms HP saya.”
Mak blaiikk.. Mendengar itu, wajah Koplo langsung abang mbranang, kisinan. Ia segera minta maaf dan meninggalkan meja tersebut. Kisinan-nya tambah menjadi-njadi ketika dengan lirih mendengar grenengan dari meja Cempluk, “Mase ke-GR-an baget sih.”


TEH YANG TERTUKAR
CFD (Car Free Day) selalu digunakan oleh sebagian warga untuk berolahraga maupun bersantai ria. Tak terkecuali dengan John Koplo dan Lady Cempluk, dua sejoli yang berasal dari Karanganyar ini. Hampir setiap minggu mereka jalan-jalan di CFD idep-idep olahraga sambil ngeplekke ilat. Karena disana tersedia banyak jajanan yang menggiurkan.
Dua pekan yang lalu, dua sejoli ini kembali menapaki jalan slamet riyadi yang mereka anggap indahnya setengah mati itu. Setelah mencicipi beberapa kuliner ringan, Koplo menawari Cempluk untuk makan besar.
Dhik, maem yo.. wetengku selak keroncogan ki.” Tawaran Koplo.
Nggih, Mas.. maem apa enake, Mas?.” Tanya Cempluk.
Soto wae, Dhik. Mesthi seger. Kita cari tempat yang pas dulu.” Jawab Koplo.
Tak lama kemudian mereka duduk disalah satu warung lesehan yang menyediakan soto. Dengan cekatan penjual itu menghidangkan soto yang keluknya masih kemutuk beserta teh anget pesenan Koplo. Pasangan 2 sejoli itupun langsung melahap soto daging sapi yang rasannya selangit itu.
Karena pengunjung semakin ramai, Koplo merasa kurang nyaman jika harus berlama-lama di lesehan.
Wis, Dhik. Bali yo.” Ajak Koplo yang dengan spontan mengambil teh anget dan segera meneguknya. Namun betapa kagetnya Koplo ketika pengunjung depannya nyelethuk,
Mas, Ngapunten. Teh e sampeyan kadose sing niki.” Ucap seorang Bapak didepan Koplo yang bernama Tom Gembus itu.
Mak jedherrr..  muka Koplo sontak menjadi abang ireng setelah melihat teh miliknya masih anteng diatas meja yang berukuran sempit itu.
nga-ngapunten, Pak. Kula kesupen. Kula ijoli” suara Koplo terlihat ndredheg.
Boten napa-napa, Mas.” Jawab Gembus sambil tersenyum.
Koplo langsung menggeret Cempluk dan segera mendatangi penjual untuk membayar. Tidak lupa ia mengganti teh anget yang ia salah minum tadi walaupun Gembus sudah mengikhlaskannya. Ealaahhh...



Ulang Tahun Facebook
Kejadian yang dialami John Koplo, salah satu guru SMK swasta di Boyolali ini benar-benar mengharukan. Karena berhubungan langsung dengan ulang tahunnya. Ceritanya saat dia mengajar di kelas yang kebetulan binaanya, ia sudah merasakan hal-hal yang aneh.  Keanehan itu terlihat banyak siswa yang menyanyi bersama-sama. Koplopun menyuruh para siswa diam dan ia langsung memulai pelajaran.
Di pertengahan pelajaran, dua siswi diantaranya minta ijin ke belakang, sebut saja Gendhuk Nikole dan Lady Cempluk. “Pak ngapunten, badhe ijin toyan ten wingking”, Ucap kedua siswi tersebut menggunakan basa krama karena kebetulan waktu itu pelajaran basa Jawa.Nggih, mangga dhik”, Jawab Koplo.
Tak lama kemudian, kedua siswi tersebut masuk kelas disambut suara riuh para siswa lainnya. Alangkah kagetnya John Koplo karena siswi tersebut membawa kue ulang tahun lengkap dengan lilinnya. Lagu Happy birday-pun melantun mendayu-ndayu.
 Lho, sinten sing ulang tahun?,” Tanya Koplo kebingungan.
Jenengan, Pak. Kita lihat di facebook”. Jawab Gembus salah satu muridnya. Koplo pun dengan gerak reflek langsung mengeplak bathuknya sambil berucap,” wadhuh”.
Ia teringat kalau di Fb-nya tertera tanggal 28 oktober di tanggal lahirnya, Padahal hari lahirnya 2 juli. Ia sengaja menulis tanggal itu karena tak ingin orang-orang tahu kapan ultahnya.
Karena tidak ingin membuat kecewa murid-muridnya, maka Koplo segera mengucapkan terimakasih kepada murid-muridnya dan menyalaminya satu-persatu. Setelah selesai potong kue dan meniup lilin, Koplo segera minta maaf kepada murid-muridnya karena tanggal lahir yang tertulis dalam FB itu keliru. Namanya juga anak-anak, setelah tahu kliru malah pada ngguyu kepingkel-pingkel.
Koplopun langsung mengalami kontroversi hati dan mbatin, “Oalah, sakjekke urip lagi iki aku nyebul lilin ultah. Jebul penak tenan diulang tahuni. Maturnuwun murid-murid”.




Dikerjain Idling Motor
Motor keluaran terbaru terkadang memiliki ciri khas sendiri. Dan penggunanya bisa terkecoh dengan ciri khas tersebut. Begitu juga dengan Lady Cempuk, seorang ibu rumah tangga yang berdomisili di daerah Kartasura, Sukoharjo ini. Belum lama, Cempluk mereyen motor matik baru milik anak tercintanya, John Koplo.
Beberapa hari yang lalu Lady Cempluk ngacir menuju pasar Kartasura yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari rumahnya tanpa diantar oleh Koplo.
Sesampai di pasar, ia langsung membeli beberapa belanjaan yang tidak membutuhkan waktu lama dan segera pulang. Beberapa meter meninggalkan pasar, Cempluk bertemu Nikole, tetangganya, yang hanya berjalan kaki.
Ayo, Yu bareng aku wae.” Pinta Cempluk.
Cemplukpun berhenti dipinggir jalan dan menunggu Nikole ngunggahke bokong ke atas jok motor. Namun Cempluk merasa kaget karena mesin motor berhenti. Ia-pun beberapa kali mencoba menstater namun motor tetap tidak menyala.
 Kok malah mati ya, Yu.” Cempluk kebingungan.
“Apa peh motor anyar dinggo goncengan ora isoh, Dhik.” Nicole menambahkan dan langung turun dari jok motor.
Jane ora ki, gek wingi wae Koplo nggoncengke simbahe ya isoh og.” Cempluk menimpali.
Beberapa saat motor diuthek-uthek dan minta tolong kepada orang-orang yang kebetulan melintas disitu namun nihil. Akhirnya 2 orang ibu itu memutuskan untuk menuntun motor sampai ke rumah.
Lho, Bu. Kok dituntun enten napa?” Tanya Koplo kaget.
motore iki piye ta, Le jane. Bar mandheg langsung ora bisa di starter malah mati.” Jawab Cempuk.
Koplopun langsung tanggap ing sasmita, ia tertawa sendiri dan akhirnya memaklumi ibunya.
“Bu, niki pake idling.” Sambil menunjuk pencetan yang berada di atas setang bagian kanan.
Menawi idlinge aktif, yen wektu motor mandheg mesin otomatis mati. Yen pengin mlaku maneh tinggal ngegas mawon.” Terang Koplo. 


Gara-Gara Rok Mini
Gencarnya lagu dangdut yang berkisah tentang rok mini, ternyata berpengaruh besar pada sebagian orang, termasuk Lady Cempluk, Gadis ABG Colomadu, Karanganyar ini. Pasalnya hampir setiap sore, Cempluk yang masih duduk di bangku SMA kelas XI ini nongkrong di pinggir jalan, timur desanya mengenakan rok mini bersama teman-teman sebayanya. Berita inipun menjadi perbincangan hangat dikalangan cowok muda warga sekitar, termasuk John Koplo dan Tom Gembus.
Kejadian lucupun terjadi. Ceritanya, beberapa pekan yang lalu, disore yang cerah, Koplo sudah siap dengan motor jago-nya. Kemudian ia memanggil Gembus dengan sms.
Piye, Bro, wis siap ?”. Sms Koplo.
“OK, Siap bos.” Jawab Gembus beberapa menit kemudian.
Dengan sigap Koplo menghampiri Gembus. Kini, dua sahabat karib itu melaju dengan muka yang menggebu-nggebu.
Ternyata benar, setelah sampai di timur Desa, Gembus dan Koplo melihat Cempluk dengan penampilan rok mininya.
Oalah, Plo. Seksi tenan ya.” Komentar Gembus.
Iya, Mbus.” Jawab Koplo dengan kalamenjingnya yang munggah-mudhun.
Namun alangkah kagetnya Koplo ketika Gembus mbengok sambil memukul-mukul pundaknya.
“Awas, Plo. Ngarepmu.” Teriak Gembus.
Koplopun baru sadar bahwa setang motornya membelok ke kiri. Padahal dipinggir jalan itu ada kalenan kecil untuk pengairan sawah. Namun, terlambat sudah Koplo membanting setangnya ke arah kanan. Akhirnya, motor bersama dua sahabat karib itupun terjungkal ke kalenan tadi.
Sontak orang-orang sekitar yang melihat kejadian itu langsung ketawa sejadi-jadinya, termasuk Cempluk dan teman-temannya. Walaupun, mereka tidak apa-apa dan kondisi motor yang hanya sedikit lecet, tapi dengan kejadian ini setidaknya mereka kapok untuk tidak  plingak-plinguk saat berkendara.


Koco halaman
John koplo yang baru saja lulus dari salah satu universitas swasta di Solo, tidak terlalu sulit untuk mencai kerja. Dengan gelarnya S.Pd, ia mendaftar di SD favorit yang full day di daerah Solo baru setelah dapat info dari tetangganya. Satu minggu jatah observasinyapun sudah dilalui. John koplo sudah ngampet ingin sekali diberi jam untuk mengajar. Ia bilang kepada kepala sekolahnya, bu Lady Cempluk. “Bu, saya sudah siap untuk mengajar.” Bu Lady Cempluk pun menjawab “beneran sudah siap nih? yakin sudah siap? ga takut ma anak-anak bandel?ga boleh njewer, ga boleh njiwit, ga boleh bentak-bentak lho yaa. Yadah, mulai besuk senin mengajar di kelas 2 dulu, jadwalnya bisa diambil nanti sehabis pulang di kantor guru. Oya Pak John, jangan lupa buku paket-paketnya minta kepada penjaga perpus, bilang saja yang nyuruh saya gitu.” “woke, siap bu Lady Cempluk, Cuma ngajar kelas 2 ma, keciil. Kagak bawa buku paketpun dijamin luancar” jawab John koplo optimis banget.
Hari senin, selasa, rabu sudah berlalu. John koplo pun sudah mengenal sebagian murid kelas 2. “kalau ada murid yang rame ma, biasa. Namanya juga anak-anak” ujarnya.
Hari kamis, jam ke 5-6 jadwalnya pelajaran basa jawa. “bocah-bocah, cobo saiki dibukak LKS e koco papat, digarap sing romawi siji yo.” “nggih, Pak” jawab siswa serentak. Kecuali Tom gembus yang malah melihat jendela kaca yang dibuka dan menghitungnya. Beberapa menit berlalu, John koplo keliling melihat-lihat anak didiknya dan berhenti di samping meja Tom Gembus karena ada yang aneh dengannya. “ lho, dek tom kok malah nggarap koco wolu?” “ lha kacanya kan yang dibuka jumlahnya delapan Pak, coba dihitung sendiri itu.” Sambil menuding jendela samping kelas. “bukan koco itu, tapi koco halaman di LKS ini dek Tom.”jelas John Koplo dengan sabar. “bukan Pak, kata bapakku, koco itu ya itu, jendela kaca.” jawab kembali Tom Gembus” “Dek Tom, basa jawane halaman itu  koco”  John Koplo mulai anyel.” “bukan Pak, kata Bapakku yang itu, saya lebih percaya bapak saya.”  Suara Tom Gembus agak keras.”oo lha, bocah kok dikandani ngueyel “ tangan John Koplo memegang kuping Tom gembus hendak menjewer. Tapi belum kesampaian njewer, Tom Gembus sudah menjerit keras. “Pak John”suara bu Ladi Cempluk malangkerik di pintu kelas.” Eee Bu Cempluk. Nga, nga punten, Bu.” gemeteran tangan John Koplo dan wajahnya kemerahan karena takut.”


Kartu Gigi
Syair dangdut yang menyatakan “lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati” ternyata tidak sepenuhnya benar.  Pasalnya John Koplo salah satu pemuda di Colomadu ini merasa kapok dengan rasa nyeri di gigi krowaknya. Karena tidak tahan dengan rasa sakitnya, akhirnya beberapa pekan yang lalu ia memutuskan untuk berobat di puskesmas terdekat di kecamatannya.
Jam setengah delapan ia sudah siap meluncur ke tempat yang sudah direncanakannya. Beberapa menit kemudian ia sampai di tempat tujuan dan segera memakirkan sepeda motor.
“Pak, Mau daftar.” Ucap Koplo kepada petugas puskesmas, sebut saja Tom Gembus.
“Silahkan ambil kartu pendaftaran di depan, Pak.” Jawab Gembus.
Koplo menuruti saja perintah Gembus. Setelah mengambil kartu pendaftaran, Koplo mengantri agak lama karena nomer pendaftarannya nomer urut 12.
Setelah setengah jam menunggu, Koplo yang dari tadi kiyer-kiyer dan gembrobyos karena ngampet sakitnya dipanggil oleh Gembus.
“Nomer 12.” Gembus memanggil lewat mikropon.
“Saya Pak.” Koplo menyerahkan nomer pendaftarannya.
“Sakit apa, Mas?” Tanya Gembus.
“Mau njadhilke gigi, Pak.” Jawab Koplo.
“Lho kok kartu pendaftarannya biru, Mas? Kalau Gigi yang merah. Coba silahkan ambil yang merah.” Gembus menjelaskan.
Mendengar itu Koplo langsung bergegas mengambil kartu yang merah, dan apesnya kartu yang merah sudah ludhes habis.
“Pak, yang merah telas niku.” Protes Koplo.
Gembus menjelaskan bahwa kartu biru itu untuk sakit umum dan yang merah untuk sakit gigi. Karena sudah terlanjur Gembus memberi saran agar meminta obat sementara ke dokter umum dan besuk kembali lagi untuk diperiksa dokter gigi.
Harus bilang apa lagi, Koplo hanya bisa mengikuti saran petugas itu. Satu setengah jam kemudian ia keluar dari puskesmas dengan mengutuk nasibnya yang sial gara-gara salah ambil kartu pendaftaran. Ealahhh...



Konangan japlak

Di Karanganyar, ada salah satu SMK Swasta favorit yang menerapkan kurikulum baru khusus untuk kelas X. Beberapa waktu yang lalu, waktu mid semester ada pelajaran sejarah Indonesia, dimana soal-soal tidak lagi menggunakan pilihan ganda. Semua uraian. Kejadian mengharukanpun terjadi disini. Beberapa pekan yang lalu SMK ini mengadakan mid semester. Semua anak mengerjakan dengan sungguh-sungguh. Namun salah satu siswa itu bernama John Koplo. entah gawan bayi atau apa, walaupun a sudah sinau nglembur dan mruput.

Saat waktu berjalan lbih dari setngah jam, pekerjaan Koplo hampir selesai. Karena ia menggunakan jurus adalannya yaitu menyimpan kepekan yang sudah dipersiapkan dari rumah yang ia letakkan di bawah soal dan jawaban.
Waktu terus berlalu, dan pekerjaan Koplopun selesai. Ia tampak tenang dan senyum-senyum sendiri.
“Alqamdulillah, akhirnya jadi juga.” Gumamnya dalam hati.
Ia tampak leha-leha dengan posisi kaki ongkang-ongkang. Seperempat berlalu akhirnya bel berbunyi satu kali, pertanda waktu kurang 10 menit. Dengan PD Koplo keluar kelas diikuti beberapa teman yang sudah selesai mengerjakan soal.
Saat itu juga pengawas yang bernama Cempluk mengambil kertas jawaban para siswa yang sudah ditinggalkannya. Saat mengambil jawaban Koplo, Cempluk terperanjat kaget karena melihat kepekan Koplo ketinggalan di bawah lembar Jawaban.
Dengan cepat ia memanggil Koplo. “John Koplo, silahkan kembali ke kelas.”
Koplo pun kaget mendengar panggilan Bu Cempluk,”enten napa, Bu,”
“Ini apa plo,” Jawab Cempluk sambil melihatkan kepekan ke Koplo.
Koplopun tak bisa bilang apa-apa lagi selain kata maaf. Dan wajahnya pun abang ireng kisinan. Akhirnya Koplo diberikan lembar jawab baru untuk mengerjakan lagi padahal waktu tinggal sedikit.
“oalah ndelalah murid titipan,” saut salah satu teman Koplo yang bernama Gembus dan diikuti gelak tawa teman-teman lainnya.
 



Numpang Parkir Gratis
Pacaran dengan sistem keuangan yang ngirit, terkadang menjadi  pilihan tersendiri bagi banyak pasangan. Salah satunya John Koplo, pemuda Sragen yang berpacaran dengan Cempluk yang berdomisili di Sukoharjo. Karena jaraknya yang lumayan jauh, jika ingin berkencan mereka bertemu di salah satu swalayan besar, Pabelan, untuk memakirkan salah satu motor mereka. Maklum, tempat itu dipilih karena tidak ada biaya parkir alias gratis.
Begitu halnya kejadian beberapa minggu yang lalu saat Cempluk mendapat undangan pernikahan dari temannya di Klaten. Koplo dan Cemplukpun menuju toserba tersebut.
Sesampai ditempat yang dituju, Cempluk memakirkan motornya dan segera berlalu menuju gerbang toserba.
Tidak lama kemudian Koplo menyambutnya.
“Ayo, Dhik.” Ajak Koplo.
“Iya, Mas.” Jawab Cempluk sembari mengangkat bokongnya ke atas motor.
Mereka segera menuju ke tempat yang sudah di rencanakan.
Empat jam kemudian mereka tiba kembali di Toserba tempat penitipan motor Cempluk.
Enteni sek, Mas.” Suruh Cempluk sembari menyerahkan helm.
Cemplukpun segera berjalan ke tempat parkir.
 “Karcis, Mbak.” Sapa Gembus, tukang parkir.
“ Niki, Mas.” Jawab Cempluk sambil menyerahkan karcis.
Wah awan-awan maem sop nggih sueger no, Mbak.” Ucap Gembus dengan mesem ngguyu yang sangat mengagetkan Cempluk.
Mendengar itu Cempluk merasa konangan yang hanya numpang parkir gratis tanpa berbelanja. Dengan muka yang semrawut ia-pun bergegas meninggalkan tempat itu. Slidik punya slidik ternyata Gembus sempat mendengar pembicaraan Koplo dan Cempluk saat ijin keluar melewati gerbang swalayan tadi pagi.


Pitrah kok ditolak
Lebaran merupakan hari yang sangat istimewa bagi anak-anak, Karena mereka bisa mendapatkan uang pitrah dari sanak saudara maupun tetangganya. Namun berbeda dengan Tom Gembus, bocah yang masih berusia 4 tahun ini. Pasalnya Gembus sering menolak jika dikasih uang pitrah oleh sedulur-sedulurnya. Tentunya hal ini membuat John Koplo, ayahanda Gembus, sangat terpukul.
Lebaran kemarin, Koplo dan istrinya, Cempluk, memutuskan mubeng ke sedulur dan tetangga terdekat seperti yang lainnya. 
“Dhik Gembus, nanti kalau diparingi pitrah mbokdhe ditrima ya.” Pesan Koplo kepada Gembus.
Saat sampai di rumah Mbokdhe Nikole, Koplo dan Cemplukpun sungkem kepada empunya rumah.
Mbokhe, ngaturaken sugeng riyadi. Sedaya kalepatan awujud tutur utawa tindak tanduk ingkang mboten mranani ..bla..bla..bla...” Sungkem Koplo dan segera bergantian dengan istrinya.
Ketika semua sudah selesai,  Koplo dan Cempluk hendak berpamitan.
Mbokdhe, pamit riyin nggih. Niki badhe nglajengaken mubenge.” Pamit Koplo.
Oo..ngono. ya nderekake.” Jawab Nikole sembari mengambil lembaran biru di dompetnya dan menghampiri Gembus yang sedang digendong Cempluk.
Thole Gembus, niki ngge tumbas es.” Ucap Nikole dengan menyelipkan lembaran tadi ke jari-jari Gembus.
Emoh..emooh..” Tolak Gembus.
Nikolepun mengulangi adegan pemberian pitrah itu berulang kali, namun tragis, tangis Gembus malah semakin menjadi-jadi.
Yawis..suk wae nek wis gedhe ya, Le.” Nikole mengakhirinya.
Ditrima ta, Mbus.” Koplo masih ngereh-ngereh.
Karena tidak berhasil, orangtua Gembuspun menyerah.
Saat keluar dari rumah Nicole, Koplo hanya bisa muni-muni dhewe.
Piye ta,Le. Diwenehi pitrah kok ora gelem. Mbokdhe ki ya piye. ora dititipke pak e apa mboke wae.” Grundelan Koplo.
Cemplukpun hanya ngampet ngguyu Sendiri.


Salah Masuk TPS
John Koplo adalah salah satu pemuda di kecamatan Colomadu, Karanganyar, yang tidak nggagasan dengan partai politik.  Makanya waktu menerima undangan untuk menyoblos ia hanya meletakkan undangan begitu saja tanpa membaca isinya terlebih dahulu. Dengan sikap acuh tak acuh ini, Kejadian yang memalukanpun menerpa dirinya saat datang ke TPS(Tempat Pemungutan Suara).
Kurang lebih pukul 12 siang ia berniat berangkat ke TPS. Setelah sampai di TPS, ternyata hanya ada beberapa pemilih yang sedang melakukan proses pencoblosan dan PPS (Panitia Pemungutan Suara).
Wah, sepi ki. Gek ndang nyoblos gek ndang uwis.” Batin Koplo.
Mangga, Mas Koplo katuran pinarak. Lajeng mawon.” Ucap salah satu panitia, Lady Cempluk.
 “Nggih, Bu.” Jawab Gembus.
Namun beberapa saat ketika Koplo menyerahkan undangan, Cempluk mesem dan tertawa kecil setelah mengecek undangan itu.
Mas Koplo, nyuwun ngapunten. Sampeyan menika TPS 3, sanes TPS mriki. Menawi mriki TPS 2, Mas.”  Cempluk menjelaskan.
Mendengar suara Cempluk itu, Koplo kaget.
Napa nggih ta, Bu?” Tanya Koplo sambil melihat undangan.
Dan ternyata benar apa yang dikatakan Gembus, Koplo salah TPS. Seketika itu PPS dan beberapa  orang yang di situ langsung tertawa nyekikik.
Gek ndang Mas Koplo, selak tutup lho he..he..” Ucap Tom Gembus yang juga PPS, semu mengejek.
Cemplukpun menjelaskan bahwa beberapa warga di RTnya Koplo dialihkan ke TPS 3 untuk pemerataan pemilih termasuk Koplo. John Koplo hanya bisa menahan malu dengan muka abang mbranang dan langsung ngacir pergi, entah kemana.


Takut Badut
Menjadi kebanggaan tersendiri, manakala orang tua bisa membuat acara ulang tahun untuk buah hatinya. Seperti yang dialami pasangan Tom Gembus dan Lady Cempluk, warga Pengging Boyolali ini.
Dua minggu ke depan, Nicole, anak semata wayangnya genap berumur satu tahun. Rencananya, untuk meramaikan Ultah, mereka akan mengundang badut sulap.
Beberapa pekan yang lalu setelah pulang kerja, Gembus menyempatkan berhenti di bawah pohon pinggir Jalan raya yang ada iklan badutnya. Sesampai rumah, langsung saja ia menginformasikan kepada istrinya.
“Bu. Iki wis oleh nomere badut”. Ucap Gembus.
“Langsung dibel wae, Pak”. Jawab Cempluk.
Gembus langsung menghubungi nomer tersebut, yang sebenarnya si badut bernama Joh Koplo  dan memintanya untuk menghibur acara ultah di rumahnya. Hari berlalu, dan akhirnya sore yang ditunggu-tunggupun datang juga. Rumah Gembus berhias balon warna-warni menjadi pemandangan indah. Anak-anak semakin bergembira saat sang badut dengan lihai menghiburnya.
“Adik-Adik, kini tiba saatnya meniup lilin dan memotong kue”. Terang badut yang diikuti sorak-sorai anak-anak.
“Mari kita menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk teman kita, Dik Nikole.” Lanjut Badut.
Namanya juga masih balita, Nicole hanya diam saja dipangkuan ibunya.
Koplo yang menjadi badut mencoba menghiburnya.
“Dik Nikole, Ci... luukk... baaaa.” Suara Badut dengan mendekatkan wajahnya yang serba clonengan ke depan muka Nikole.
Sontak Nikole kaget dan menangis sejadi-jadinya.
“Huaa..huaa..huaaa..”. Tangis Nikole menggegerkan acara.
“Cuupp.. cuupp.. sayang.” Ortunya mencoba menenangkan.
Cempluk dengan tanggap segera meniup lilin dan memotong kuenya. Sementara Koplo si badut hanya bisa pringas-pringis, kisinan.


TPA-ne digusur?
Anak yang masih lugu terkadang megundang kelucuan tersendiri. Begitu juga halnya dengan John Koplo dan kawan-kawannya, bocah kota Bengawan yang baru duduk di bangku Taman Kanak-Kanak ini.
Beberapa pekan yang lalu, setiap hari senin jam 16.00 seperti biasa Koplo bersama teman-teman sebayanya pergi ke masjid untuk belajar membaca iqro’.
“Ayo anak-anak sekarang waktunya mengaji. Buku iqro’nya di buka.” Ucap Lady Cempluk, sang ustadzah.
“Iya, Mbak.” Sahut para santri sembari cepat-cepat membuka buku iqro’ masing-masing.
Para santriwan-santriwati itupun terhanyut dalam suasana belajar membaca iqro’, walaupun beberapa santri menyelinginnya dengan gojekan-gojekan kecil.
Empat puluh menit berlalu, anak-anak berlarian keluar masjid karena sudah waktunya istirahat. Beberapa saat kemudian, Koplo dengan suara lantang mengundang Gembus.
Mbus, reneya enek sing apik!” Ajak Koplo kepada Gembus. Namun teman-teman yang lain ikut berlarian mengerumuninya dan melihat sesuatu yang ditunjuk Koplo.
Kebetulan di barat masjid itu terpampang sebuah spanduk besar dengan tulisan yang sangat jelas, “Gusur TPA di  Desa kami.”
Sontak anak-anak pada kaget.
Berarti wis ora enek TPA maneh.” Celethuk Gembus.
Iya, Mbus.” Jawab Koplo.
“Tak Tanya Mbak Cempluk dulu.” Sahut  Gendhuk Nikole, yang kemudian berlari menemui ustadzah disusul teman-teman lainnya.
“Mbak, TPA kita apa mau di gusur?” Tanya Nikole.
Digusur piye ta, Ndhuk?” Tanya Cempluk kaget.
Lha tulisane kae, Mbak.” Ucap Koplo sembari menuding keberadaan spanduk.
Beberapa saat berfikir, Cemplukpun merasa Dhong, yang akhirnya tersenyum dan ngampet ngguyu.
“Yang dimaksud TPA dalam spanduk itu bukan “Taman Pendidikan Al-Qur’an”, tapi “Tempat Pembuangan Akhir atau lahan tempat sampah.” Jelas Cempluk.
Anak-anakpun hanya bisa ndomblong saja.

Share :

Facebook Twitter Google+
0 Komentar untuk "Contoh Tulisanku yang tidak dimuat Ah Tenane Solopos"

Back To Top