Sekedar contoh tulisanku yang tidak dimuat Ah Tenane Solopos
Tulisan bersifat hanya untuk pembelajaran saja
jika ingin membaca cerita yang pernah dimuat Ah Tenane, Klik Di Sini.
Untuk Mendalaminya, Baca Tulisan Yang Terkait
Amplope Kliru
Bulan
ruwah seperti sekarang ini, banyak digunakan
warga untuk menikah. Termasuk Cempluk, sahabat karib Koplo dan Gembus sewaktu
SMA yang akan melangsungkan pernikahan hari minggu di salah satu gedung Sumber,
Solo ini.
Koplo
dan Gembuspun menyusun rencana untuk mendatangani resepsi tersebut.
“Mbus,
gimana besuk minggu?” Sms Koplo
“Nanti
jam 7 malam aku sampai di tempatmu, Plo. Kita boncengan aja.” Jawab Koplo.
Saat
hari minggu tiba, Koplopun bersiap dengan berdandan rapi. Tidak lupa ia menyiapkan
uang dan segera mengambil amplop di tempat yang biasa ia menaruhnya.
“Wah. Amplope malah entek.” Batin koplo
Koplo
segera menuju warung kelontong untuk mencari amplop.
Karena
memang harga amplop murah, Koplo membeli dua amplop sekaligus. Beberapa saat
kemudian Gembus datang.
”Ayo Plo langsung wae.” Celethuk Gembus.
Dengan
sigap Koplo langsung memboncengnya. Setengah jam berlalu mereka sudah sampai di
gedung resepsi yang dituju. Langsung
saja dua sahabat itu masuk dan duduk. Sambil menikmati hidangan yang mbanyu mili dan mendengarkan lagu, tidak
terasa jam sudah menunjukan pukul setengah sepuluh. Kedua mantenpun dibedhol dan di giring menuju depan guna
menyalami tamu yang akan berpamitan.
Setelah
salam tempel, Koplo dan Gembus segera ke parkiran, mengambil motor dan keburu
pulang. Saat sampai dirumah, Koplo menyenthelkan
bajunya dan mengambil amplop sisa untuk di simpan. Dan betapa kagetnya Koplo
saat melihat amplop yang dianggap sisa itu tertulis namanya.
“Horok, dadi amplop sing tak
wenehke Cempluk mau kosongan”. Kelakar Koplo.
Koplo
langsung curhat kepada Gembus melalui Hp. Gembus hanya bisa tertawa ngekek saja
mendengar cerita Koplo.
Dipipisi Wedhus
Idul Adha merupakan salah satu hari yang ditunggu-tunggu
umat muslim dunia, termasuk John Koplo, keluarga yang berdomisili di desa,
Colomadu ini. karena keinginannya untuk berkorban sangat kuat, maka beberapa
hari yang lalu Koplo dan istrinya, Lady Cempluk bergegas untuk mencari kambing kurban.
“Bi,
pados sing rada enom mawon.” Permintaan Cempluk.
“Ya
mengko ndelok-ndelok sek, Mi.” Jawab Koplo.
Tak lama kemudian, berangkatlah Koplo dan
Cempluk mubeng-mubeng mencari penjual
kambing ke arah timur bangjo Colomadu, karena disitu banyak ditemukan penjual
kambing dadakan.
Setelah melewati beberapa penjual kambing,
akhirnya Cempluk menepuk-nepuk pundak Koplo.
“Abi-abi. stop. Kidul nika kadose kathah kambinge.” Teriak Cempuk.
“O, ya,
Mi. Tak nyebrang sek.” Koplo menimpali.
Pasangan itupun segera menghentikan motornya
dan melihat-lihat kambing yang dijual.
“Mangga
pinarak, Pak. Pados ingkang menapa?” Tanya Tom Gembus, penjual kambing.
Selang beberapa menit, Koplo dan Cempluk menemukan
kambing yang sesuai dengan keinginannya.
“Niki pinten, Pak?” Tanya Koplo.
“Kalih
welas, Pak.”Jawab Gembus yang berarti satu juta dua ratus.
“Lha pase
pinten, pak? ” Tanya Koplo lagi.
Merekapun terlibat nyang-nyangan sampai ditemukan kesepakatan harga. Selanjutnya Koplo
segera mengurusi administrasi.
Saat itulah kejadian ora penak menimpa Cempluk sewaktu ia memandangi kambing yang segera
menjadi miliknya. Entah haus atau apa, kepala kambing di hadapkan ke kelaminya,
lalu keluarlah air seni dengan muncrat.
Payahnya air kuning itu menyemprot mengenai sayak Cempluk.
“Masya, Allah. Abiii!” Cempluk teriak.
Mendengar suara itu, Koplo dan Gembus langsung
menghampiri Cempluk dan segera menangani kejadian. Pembeli lain yang melihatpun
pada cekikikan.
Hape Tikus
Tindakan yang
didasari dengan rasa Kesusu terkadang
membuat seseorang melakukan hal-hal yang jauh dari harapan. Seperti John Koplo, salah satu warga
Gemolong, Sragen, yang baru saja melangsungkan pernikahannya dengan Lady Cempluk
1 bulan yang lalu ini.
Dengan rumah
tanggannya yang baru, Koplo dan Cempluk memilih tinggal di rumah kontrakkan sederhana.
Seperti biasa, pada malam hari sebelum mereka bobok, Cempluk selalu memastikan tempat tidurnya bersih. Oleh
karena itu, ia segera ngebut-ngebutke
slimut. Saat itu juga ada sesosok tikus yang masuk ke dalam kamarnya. Sontak
Cempluk kaget bukan main.
“Astagfirullah.
Mas, ada tikus.” Teriak Cempluk sembari berlari menjauh dari kamar.
Mendengar itu Koplo
segera mengambil gebuk kayu dan masuk
ke dalam kamar.
“Mau, tikuse neng endi dhek?” tanya
Koplo.
“Mau mlayu neng Pojok etan, Mas.” Jawab
Cempluk.
Tanpa banyak orasi,
Koplo langsung mengarahkan gebuknya
ke pojok kamar. Dan benar, seekor tikus clurut
dengan cepat merambat keatas dan ndelik
dibawah slimut. Dengan tergesa-gesa Koplo memukul-mukul slimut yang kelihatan
menonjol. Beberapa menit berlalu Koplo keluar dari kamar dengan membawa seekor
tikus yang sudah mati karena gebukannya.
“Kenek, mas.” Ucap Cempluk dengan
perasaan lega.
“Iya, Dhek. Tak guwange sisan.” Balas
Koplo.
Tidak lama kemudian
saat Koplo masuk rumah, ia kembali mendengar istri tercintanya njerit.
“Maaaas... HP Toot screen ku kok ya mbok
gebuukk.. Remuk, Mas.” Suara Cempluk yang segera membuat muka Koplo menjadi
abang mbranang saknalika. Ealaaahhh... Salahe nganten anyar kok malah
ngurusi tikus...
Kakean Thengkleng
Sudah menjadi kebiasaan, setelah semuanya selesai, panitia kurban
disalah satu Desa Kec. Colomadu Kra. Ini berkumpul untuk menikmati bareng sebagian hewan kurban yang
disisihkan. Tak terkecuali dengan john Koplo yang duduk sebagai seksi pengropok kepala dan kaki embek ini.
Bersama-sama teman remaja masjid lainnya, selesai ngropok mereka ditawarin untuk merasakan sedapnya thengkleng. Tanpa menolak, mereka
langsung mengambilnya. John koplo yang dari tadi sudah ngiler mendengar kata “thengkleng”
kini dengan lahapnya menyantap balung
yang dibaluti daging kambing itu. Begitu juga yang lainnya, rata-rata mereka menghabiskan
2 piring.
Selesai makan, mereka mengantar kropokan ke depan.
“Mas John, nyuwun tulung diewaki
nyinom ya, ibu-ibu dereng angsal” Pak Tom gembus sebagai ketua takmir minta
tolong kepada John koplo.
“Nggih pak, sekedhap nggih.” Jawab john koplo.
Sebagai remaja yang entheng tangan,
john koplo langsung mengambil tepak yang diisi dengan piring-piring penuh
dengan thengkleng dan nasi.
Setelah selesai nyinom,“Mas John,
monggo sakniki sampeyan nedho” permintaan
Pak Tom gembus.
”wah kulo sampun, Pak.” John
Koplo rekak-rekake mengelak, tapi
akhirnya nambah juga. “badalah, madhang
maneh Mbokde..ha..ha.” batin John Koplo berdansa.
Besuknya dirumah John Koplo. Ibunya, lady cempluk dan adiknya, Gendhuk
nikole nyate daging kurban sisa
kemarin, karena memang daging bagiannya banyak banget.”John, lho rene le, maem
sate”. Ibunya memanggil.
“Nggih, Bu siap”. John koplo
langsung mengambil posisi duduk. Diambilnya satu sunduk sate dan digigitnya
daging paling ujung.
“mak cenut” John koplo kaget seperti ada yang ngganjel di giginya.
“ngopo to le, kok ora sido dimaem?.”
Tanya lady cempluk.
“kok, untu kulo linu nggih bu?.” Balas John Koplo sambil
menggigit-gigit giginya sendiri.
“wah, kakean thengkleng gek wingi
kuwi ha..ha..ha.” lady cempluk dan Gendhuk Nikole tertawa dan melanjutkan
makan satenya.
John koplo hanya bisa sogok-sogok
untu dan melihat barisan sate yang baunya slenthang-slentheng mampir ke hidungnya.
Kelangan Flesdisk
Berbagai kisah
tentang hujan abu gunung kelud memang selalu menarik untuk disemak. Seperti
kisah lain John Koplo berikut ini.
Beberapa pekan yang
lalu, setelah hujan abu berakhir, seperti biasanya Jon Koplo, salah satu guru
di SMA swasta Boyolali ini berangkat ke sekolahnya. Setelah sampai, seperti
biasa Koplo mengajar sesuai Jadwal. Karena mengajarnya mengunakan LCD, iapun
segera mengambil laktop dan mengecupkan
kabel proyektor.
Tidak lama setelah
itu, Koplo mengambil flesdisk dalam tasnya. Namun alangkah kagetnya Koplo
ketika flesdisnya tidak ditemukan.
“Wadhuh, kok ora enek cah.” Batin Koplo
menggema.
Karena flesdisk
tidak ditemukan, maka Koplopun tetap melanjutkan kegiatan belajar mengajarnya.
Maklum, Guru ora kurang lakon.
Setelah selesai
mengajar, Koplo kembali ke kantor. Ia mencoba mengingat-ingat. Seingatnya,
semingu yang lalu Gembus, salah satu teman sekantor yang meminjam flesdisk.
Untuk itu ia langsung menemui Gembus.
“Pak Gembus, flesku
masih jenengan bawa ya?” Tanya koplo.
“lho, perasaan
sudah aku kembalikan, Pak.” Jawab Gembus mengelak.
“Lha kok ditasku tidak ada ya, Pak.”
Koplo masih tidak percaya.
Akhirnya mereka
berdua saling mengecek tas dan meja kerja masing-masing. Namun tidak diketemukan.
Setelah pulang dari
sekolah, Koplo tersadarkan oleh tas yang ternoda oleh abu vulkanik. Ia baru
teringat bahwa tas yang dibawa hari itu bukanlah tas yang dibawa
dikesehariannya. Benar saja, setelah mengecek, ditemukan flesdisk didalamnya.
Iapun cengar-cengir sendiri dan mbatin, “Oalah,
wis tuwa tenan sajakke aku iki. Mulai lalenan.”
KORANE KATUT
John Koplo adalah guru SMA swasta
Boyolali yang tulisannya sering dimuat di Koran lokal Solo. Kebetulan, beberapa
pekan yang lalu sekolahnya melaksanakan penilaian akreditasi. Maka untuk
mendongrak nilai, para guru yang mempunyai karya diwajibkan untuk mengumpulkan.
“Pak Koplo, tolong tulisan penjenengan yang dimuat dikoran besuk di
foto copy nggih.” Suruh Gembus
pengurus akreditasi.
Sorenya setelah pulang sekolah, Koplo
menyiapkan lembaran Koran yang ada karyanya. Koran tersebut dijadikan satu, ditali
dan dimasukan ke dalam kresek. Iapun bergegas menuju tempat fotocopy terdekat .
“Mbak, tolong difotocopy rangkap dua ya,
kertas HVS.” Ucap Koplo dengan menunjuk rubrik Koran.
Cempluk, tukang foto copy hanya
sendhika dawuh. Akhirnya setelah 15 menit menunggu, Copy-an selesai. Koplopun mengeceknya.
“Sudah lengkap, Mbak. Minta notane,
Nggih.” Pinta Koplo.
Setelah semua dirasa selesai maka
Koplo meninggalkan tempat copy-an. Namun
sebelum sempat nyetater motornya, Cempluk celuk-celuk.
“Mas, maaf korannya.” Ucap Cempluk.
“Ini Koran saya, Mbak. Lha yang dicopy tadikan foto saya semua.” Jawab Koplo
kemaki.
Cemplukpun menerangkan dengan tenang.
“Maaf, Mas. Koran harian disini katut terbawa
juga.”
Koplopun mengecek Koran yang sudah dimasukan
ke dalam kresek. Badalaahh… benar yang dikatakan Cempluk. Ternyata saat
menunggu proses foto copy, Koplo
membaca Koran milik foto copy-an dan
lupa mengembalikannya.
“Eh. Maaf, Mbak. Lha korane sama og.” Ucap Koplo kisinan sembari
menyerahkan Koran.
Selanjutnya Koplo hanya bisa ngacir begitu saja, karena tahu bahwa orang-orang
disekitarnya lagi pada menahan tawa melihat tingkah Koplo. Ealaahh…
Oh…Telolet-ku
Beda generasi ternyata berpengaruh juga antara kepekaan
seorang Bapak terhadap anaknya. Pernyataan itu juga dialami oleh John koplo,
warga Colomadu, karanganyar yang baru mempunyai seorang anak ini. Pasalnya
beberapa pekan yang lalu, Tom Gembus, anak nya yang baru menginjak kelas 2 SD merengek
minta dibelikan tablet. Ketika itu Koplo yang baru saja pulang kerja langsung
dihadap oleh Gembus.
“Paak… belikan
hape tablet.” Rengek Gembus.
“Buat apa ta,
Le? Masih kecil lho.” Tanya Koplo.
“Moto
bis, Pak. Biar bise telolet.” Jawab
Gembus polos.
Karena tidak ingin anaknya menangis, maka besuk
sepulang kerja Koplo berencana mampir pasar klithikan
untuk membelikannya. Besuknya, Gembus menanti ayahnya berharap membelikan tablet
agar bisa memotret bis di tepian jalan.
“Mana
tablet-e, Pak?” Tanya Gembus setelah Bapaknya pulang.
“Santai wae, Le. Yang penting telolet kan?.” Jawab Koplo sambil merogoh
tasnya.
Sesaat kemudian dengan percaya dirinya Koplo
mengangkat barang tersebut ke atas sembari berkata, “Ini dia, telolet untuk anak lanang.”
Beberapa saat ketika tahu bahwa yang dibeli Bapaknya
bukan tablet melainkan teot-teot, alat
yang dipijat dipakai para pedagang somay keliling, Gembus langsung menangis
sejadi-jadinya.
“Haaa…haaaa….haaa…” Tangis Gembus.
“Lho, Piye
ta, Le? Katanya yang penting telolet.”
Tanya Koplo.
“Itu bukan telolet,
tapi teot-teot. Haaa..haaa.”Jawab Gembus.
Koplo hanya bisa plongah-plongoh sendiri. Sementara tetangga yang menyaksikan hanya
bisa tertawa.
“Oalah, pakdhe Koplo. Dah jadi Bapak kok ya belum peka.” Celoteh Cempluk salah
satu tetangganya.
PRAHARA
CAOS TEMPURA
Ora ubet
ora ngeliwet, itulah
semboyan hidup John , salah satu warga di Karanganyar ini. Karena sudah
bertahun-tahun bekerja di pabrik namun kendhilnya
masih saja nggoling, iapun membanting
stir untuk berjualan tempura. Sebab ia merasa hasil berjualan itu lebih besar
untungnya daripada kerja di pabrik yang monoton.
Kejadian lucupun
terjadi beberapa pekan yang lalu saat Koplo ngedoli tempura kepada ibu disalah satu perumahan Karanganyar.
“Mas, tumbas
tempurane dua, ya. Tak tinggal bentar.” Ucap ibu itu, sebut saja Lady Cempluk.
“Nggih, Bu.”
Jawab Koplo.
Koplopun dengan cekatan menggoreng tempura pesanan
Cempluk. Beberapa menit kemudian Beterbanglah bau gurih menggigit hidung yang
menandakan tempura sudah matang. Tempura dientas,
didiamkan sebentar lalu dimasukanlah ke dalam plastik oleh Koplo. Dan
dimasukanlah caos kedalamnya.
“Bu, sampun”.
Koplo memanggil Cempluk.
“Nggih, Pak.
Pinten?” Tanya Cempluk sambil keluar dari rumah.
Setelah selesai urusan pembayaran, Koplo langsung
bergegas mencari pelanggan berikutnya. Namun, belum jauh sepedanya, Koplo
mendengar suara Cempluk memanggil.
“Mas.. mas..
sampeyan ki pripun? Kok caose pedes.
Anakku nganti nangis.” Bentak Cempluk
dengan nada agak tinggi.
“Ngapunten,
Bu. Kula kinten kangge jenengan.” Jawab Koplo sambil menghentikan sepeda.
Dengan penyesalan yang tinggi, Koplopun akhirnya
menawari Cempluk untuk menukar Tempuranya. Namun Cempluk menolaknya dan ia
pesan tempura lagi walau dengan grememengan
sendiri. Koplopun sendika dhawuh walau dalam hatinya pro kontra antara senang dan
menyesal.
Oalah.. dasar penjual baru. Makannya tanya dulu to,
Pak Koplo.
Sama-sama
Jokonya
Pada masa kampanye seperti sekarang ini
nama-nama calon Presiden sering terdengar di telinga kita melalui berbagai
media, termasuk di telinga mbah John Koplo yang tinggal di kota vokasi, Solo
ini. Beberapa hari yang lalu saat ia nglaras
sambil mendengarkan berita di radio kesayangannya, ia dikagetkan dengan berita
olahraga dari Mancanegara.
Beberapa saat setelah mendengar berita mbah
Koplo bengak-bengok memanggil istrinya,
Lady Cempluk. “Bune.. Bune... reneya, iki
lho beritane kok mbingungke ngene.”
“Lha
enek apa ta, Pak?” Jawab Cempluk sambil mendekat.
“Iki lho,
masak Pak mantan Walikota Solo mau bertanding tenis ke Amerika.” Koplo
menjelaskan.
Cempukpun dengan seksama mendengarkan berita
di radio. Ternyata yang diomongkan suaminya benar. Gantian Cempuk yang
bengak-bengok memanggil cucunya, Tom Gembus, yang baru saja pulang kuliah.
“Ngger,
Masak pak Gubernur Jakarta yang mau mencalonkan jadi Presiden, malah mau
bertanding tenis di luar negeri?” Tanya Cempluk banter.
Gembus mendekat dan sejenak mendengarkan
berita radio. Sontak ia langsung ngguyu cekikikan.
“Lho kok
malah ngguyu ta, Le?” Tanya Cempluk.
“Oalah,
Mbah-Mbah. Niki sanes calon
presiden, nanging bener-bener pemain
tenis lapangan. Namanya Djokovic. Bukan Pak Joko yang mau nyalon Presiden.”
Gembus menjelaskan sambil ngguyu ngakak.
“Oalah.. berarrti sama-sama Jokonya.” Tambah
Koplo.
Tom Gembuspun segera berakhir dari tempat itu
sambil menggenggam cerita yang ia anggap lucu. Rencananya cerita itu mau
ditulis dan dikirimkan ke salah satu harian kondang di Solo.
TAKUT
ULER
HONGKONG
Usum
ternak burung seperti sekarang dimanfaatkan
dengan baik oleh banyak orang,
termasuk John Koplo, pemuda Karanganyar ini.
Tidak
heran jika berbagai pakan burung pun
tersedia dirumahnya, mulai dari jewawut, millet, kotek, kroto bahkan uler hongkong-pun juga ada.
Kejadian tragispun terjadi, saat kekasih baru Koplo
berkunjung ke rumahnya.
“Dhek, lihat burung
yuk”. Ajak Koplo.
“Iya,
Mas. Dari tadi suara burungnya ngoceh
terus, jadi Penasaran aku.” Jawab Cempluk, nama kekasihnya itu sambil
bergegas menuju samping rumah.
“Wah,
Mas. Burungnya
banyak banget. “ Tukas
Cempluk terkagum-kagum.
Koplopun mengambil pakan burung yang diikuti suara burung
parkit dan love bird yang kemruyuk.
Kejadian
histeris pun terjadi saat Koplo
makani
burung prenjak.
“Sekarang
kita makani burung prenjak, Dhek.”
Ajak Koplo sambil membawa uler Hongkong sak
cepuk. Tapi betapa kagetnya Cempluk saat
melihat uler Hongkong yang kruget-kruget itu.
“Aaaa..
ulaaatt...” Teriak Cempluk sambil lari
keluar.
“Ga
apa-apa, Dhek. Ini ga nyakot.” Koplo
Menjelaskan.
Namun,
Cempluk masih saja girap-girap terbayang uler hongkong tadi. Ia pun minta segera
diantar pulang.
Sejak
saat itu hubungan mereka menjadi renggang, karena Cempluk selalu terbayang uler Hongkong jika melihat wajah
kekasihnya, Koplo. Ealahhh..
Tragedi Sholat Gerhana
Gerhana
matahari total memang terjadi ratusan tahun tahun sekali. Menjadi bagian dari
momen tersebut merupakan keinginan banyak orang, termasuk John Koplo, pemuda
Kartasura, Sukoharjo ini. Sesuai dengan ajaran agama yang dianut, maka
pengumuman sholat gerhana segera menggema di desanya.
“Niyat ingsun sholat gerhana.” Batin
Koplo setelah mendengar pengumuman.
Pagi
itu jam setengah enam, Koplo sudah menuju kolah
untuk mandi besar. Dan setelahnya ia memakai baju gamis lengkap dengan peci dan
sajadahnya. Tak lama kemudian Koplo berlalu dari rumahnya menuju lapangan,
tempat sholat gerhana. Namun alangkah kagetnya Koplo setelah sampai di
lapangan, ia tidak menemui satu orangpun.
“Lho,
Bu. Kok lapanganipun sepi?” Tanya
Koplo kepada Cempluk, penjaga warung dekat lapangan.
“Lha arep enek apa ta, Mas?” Cempluk
balik tanya.
“Lha turene sholat gerhana niku, Bu. Wau dalu diumumke” Jawab Koplo.
Merasa
tidak tahu, Cempluk langsung mencari suaminya, Gembus. Tidak berselang lama,
Cempluk keluar bersama Gembus.
“Lho
Mas, apa sholat gerhanane di lapangan? Kayake masjid.” Jawab Gembus mengagetkan Koplo.
Koplo
diam sebentar lalu menjawab sembari kukur-kukur
rambutnya yang tidak gatal itu. “Wah berarti kula salah mirengaken pengumuman, Pak.”
“Sak ngertiku lapangan mung kanggo sholat
Idul fitri dan Idul adha, Mas.”Gembus menambahi.
Saking groginya, Koplopun segera bergegas
menuju masjid yang letaknya ternyata tidak jauh dari rumahnya sendiri.
Sementara itu, Gembus dan Cempluk tidak bisa manahan tawa. Mereka merasa
mendapat hiburan di hari gerhana matahari tersebut.
“Masih
muda kok wis suda rungu, Mas-mas.”
Ucap Gembus yang membuat tawa Cempluk tambah menjadi-jadi.
Anting-anting vs Ban
John Koplo yang baru saja
melangsungkan pernikahannya 3 minggu yang lalu ini, masih tampak kekok dengan istrinya, Lady cempluk. Maklum, percintaan mereka
disatukan oleh kedua orang tuanya melalui perjodohan Siti nurbaya yang sudah
menjadi adat di desa terpencilnya. Walau begitu, John Koplo yang kesehariannya
bekerja sebagai karyawan di selepan (penggiling
padi) ini sangat begitu menyayangi istrinya, Begitu juga Lady cempluk.
Kejadian lucupun terjadi. Sebelum berangkat kerja, John Koplo pamitan
kepada istrinya.
“Dhek, Mas bidhal kerjo riyin nggih” kata John Koplo kepada istrinya
diwaktu pagi.
“Nggih, Mas ngatos-atos nggih.” Balas Lady cempluk diikuti dengan
salaman dan mencium tangan suaminya.
John Koplo berangkat kerja dengan
jalan kaki karena ban sepedanya bagian luar meteng
dan harus diganti. Karena John Koplo belum mempunyai uang untuk membeli
ban, maka diputuskanya berangkat berjalan kaki. “paling yen mlaku gor rolas menit, nyambi olahraga.” Begitu
gumamnya.
Lady cempluk sebagai istri yang pangerten, trenyuh melihat peristiwa
ini. Maka teringat anting-antingnya yang tinggal sebelah, karena sebelahnya
sudah hilang entah kemana. Dengan ndelik-ndelik
ia menjual anting-antingnya yang sebelah itu ke toko emas tanpa
sepengetahuan suaminya.
Besoknya waktu sore, setelah John
Koplo pulang dari kerja. Lady Cempluk ngajak bicara. “ee, Mas, niki kangge sampeyan” Lady Cempluk menyerahkan kresek
hitam yang berisi Ban sepeda baru. Entah kebetulan atau tidak, John Koplo juga
menyerahkan kresek hitam tapi kecil untuk sang istri.
Lalu keduanya penasaran dan
langsung membuka.
Mak, blaiiik. Lady Cempluk mukanya seketika langsung tratap kaget. Ternyata isinya
anting-anting baru yang hanya bersebelah seperti punyanya yang hilang kemarin.
Disisi lain John Koplo hanya bisa
cengar-cengir. “Ngapunten Dhek, Sepedhane
kula sade kok.. kagem tumbas anting-anting.. he”.
Akhirnya mereka berdua tertawa
bersama. Sejak kejadian itu, mereka sudah tidak lagi kekok atau pekewuh lagi,
bahkan selalu memberitahu bila mau mengerjakan sesuatu.
Kentut penyegar
Kisah nyata ini terjadi beberapa
hari yang lalu, saat salah satu paguyuban Literasi dikota solo mengadakan acara
dialog dan mengundang paguyuban-paguyuban yang sejenis dari berbagai daerah di
Jawa Tengah dan Jawa timur.
Berawal dari perdebatan sengit,
John Koplo terus nrocos mengungkapkan
berpuluh-puluh pendapatnya. Belum habis kata-kata, sudah disaut oleh Gendhuk Nikole yang berasal dari Pasuruan itu. Tidak
mau kalah, Lady Cempluk juga ikut urun
rembug yang pendapatnya jauh berbeda dengan teman-temanya. Tidak bisa
terpungkiri, Perdebadatanpun mulai memanas dan tak terelakan, ibarat api sudah
menyala-nyala yang digrujug lagi dengan bensin. “Mak wuus..”
Beberapa saat kemudian, “tiiit..tit.” suara kentut dari salah
satu peserta yang kayaknya kurang ikhlas
dan ditahan-tahan, tapi bentengnya kurang kuat.
Perdebatanpun mandheg klakep saknalika,
semua peserta tercengang dan saling berpandang-pandangan. Salah satu peserta
menutup mulutnya yang udah mulai kebelet tertawa, diikuti oleh peserta yang
lain. Para peserta tidak tahan lagi
ngampet, satu persatu mulai tertawa
kecil dengan muka memerah yang akhirnya menular ke yang lainnya. Akhir kata,
keadaan berubah menjadi dingin dengan ketawa penuh kelucuan yang tidak bisa
dibendung lagi.
Sementara itu, Tom gembus dari
Blora yang tadinya hanya duduk ndlongop saja terpesona mendengarkan
debat penuh takjub. Kini, hanya bisa ndingkluk. “kat mau kok serius terus, tak entut sisan kapok kabeh kowe.”
Batinnya.
HP-ne Ngedrop
Walaupun dibanjiri
HP murah nan canggih, namun masih ada saja yang mempertahankan HP jadul dengan
batunya yang ngedropan.
Kondisi yang
seperti ini bisa membuat kesal orang yang sedang menelpon, seperti yang dialami Lady Cempluk, gadis
Teras, Boyolali yang sudah bertunangan dengan John Koplo ini.
Ceritanya pada hari
sabtu siang sehabis kerja, sepasang remaja itu merencanakan pergi ke Nonongan,
Solo, untuk keperluan sauvenir pernikahan mereka.
“Gimana, Mah. Ni
aku dah siap.” Sms Koplo sembari keluar dari Pabriknya.
Beberapa menit
kemudian HP Koplo berdering, dan ia-pun mengangkatnya.
“Pah, iki aku wis OTW, Oke Tunggu Wae di
toserba Kartasura yang tuut... tuut...tuutt...”Suara Cempluk putus karena
HP-Koplo mati.
“Asem.. ngedrop maneh cah”. Grundelan Koplo.
Namun dengan segera
Koplo menuju toserba Kartasura yang sebenarnya ada dua toserba yang hampir
berjejer itu.
“Tak tunggune kene wae.” Batin
Koplo sembari menunggu di depan toserba barat bengkel.
Namun lebih dari
setengah jam menunggu, sang kekasihpun tak jua bersambut. Tiba-tiba Koplo
dikagetkan oleh tetangganya, Nikole.
“Lho, Plo. Ngapa neng kene?” Tanya Nikole.
“Ngenteni
Cempluk, Mbak”. Jawab Koplo.
Setelah basa-basi,
akhirnya Koplo memberanikan diri untuk meminjam HP- Nikole. Dan benar, hanya 5
menit berlalu Cempluk yang tadi menunggu di swalayan timur bengkel datang
menemui Koplo. Nikolepun berakhir.
Dengan muka kecut
Cemplukpun mengucap, “Kowe iki kebangeten
og, mas. HP satus ewu wae oleh anyar, masak HP ngedropan kaya ngono isih di
gawa wae.”
Koplo hanya bisa pringas-pringis mendengarkan omelan
calon istrinya itu. Oalahh.. melas tenan
uripmu, Plo.
Kapusan Dolar
Hadirnya internet banyak mengubah cara orang dalam mencari rezeki. Begitu
halnya dengan John Koplo, guru di salah satu SMK swasta Boyolali ini yang juga
ingin menangkap peluang tersebut. Beberapa pekan lalu, seperti biasa Koplo ikut
nimbrung bersama guru IT alias
Informatika dan Teknologi.
“Pak, sekarang nyari dolar lewat HP bisa lho?” Jelas guru IT, Tom
Gembus.
“Caranya gimana, Pak?” Tanya Koplo sembari mengambil HP androidnya.
Gembuspun menerangkannya kepada Koplo, bahwa pertama-tama harus mengunduh
aplikasinya dulu, lalu memainkan game atau membuka aplikasi tersebut setiap
hari. Dengan sendirinya jumlah dolar akan bertambah. Koplopun segera
mencobanya. Beberapa saat kemudian Koplo nyelethuk, “Eh..Pak Gembus, ini sudah muncul
0,300 dolar.”
Gembuspun tersenyum karena telah berhasil membimbing temannya tersebut.
“Wah lumayan, bisa untuk sambenan
ini.” Batin Koplo semangat.
Kegiatan itupun berlalu sampai di rumah. Besuknya waktu istirahat
sekolah, Koplo kembali menemui Gembus.
“Pak, punyaku sudah 1,220 dolar.” Ucap Koplo dengan bangga.
Mendengar perkataan Koplo, Gembus merasa curiga. “Pak, jenengan download-nya di sekolahan kan?” Tanya Gembus.
“Bukan Cuma di sekolah saja, Pak. Tapi di rumah saya selalu download dan memainkannya. Makannya
dolarku cepat naik.” Jawab Koplo kemaki.
“Oalah, Pak. Eman-eman
pulsanya. Poin dolar ini hanya untung jika digunakan melalui Wifi, jadi pulsa kita tidak kelong.” Timpal Koplo.
Ternyata benar, setelah Gembus mengecek HP Koplo, pulsanya hanya tersisa
tujuh ribuan.
“Waduh.. padahal tiga hari yang lalu baru saja aku belikan pulsa lima
puluh ribu.” Ucap Koplo sembari mengeplak bathuk-nya
sendiri. Kuaciaann deh …
Kerang Pukul
Wanita
mana yang tidak menginginkan kulitnya halus? Pernyataan itulah yang membuat
banyak produk atau makanan laris manis karena berkhasiat bisa menghaluskan
kulit.
Demikian
halnya dengan kerang, makanan laut yang kini mulai tersebar di wilayang Solo
Raya, termasuk depan kampus terkenal di pabelan, Sukoharjo. Berita inipun
segera menyebar ke berbagai telinga mahasiswa dikampus, termasuk sobat karib,
Cempluk dan Nikole.
“Pluk, aku
gek wingi bar tuku kerang, jebul gurih og.” Ucap Nikole.
“Apa ora amis, Ndhuk?” tanya Cempluk.
“Ora ki. Malah jare bisa ngaluske kulit
barang.” Jelas Nikole.
Mendengar
penjelasan itu, Cempluk langsung terangsang ingin mencicipinya.
“Ndhuk, mengko bar magrib ke kos ku ya, tak
traktir kerang kuwi.” Pinta Cempluk dengan segera.
Benar,
bakda maghrib Cempluk bergegas menuju penjual kerang yang dimaksud.
“Yang
pedhas, Pak, lima ribu.” Kata Cempluk sembari mengatungkan uang.
“Terimakasih,
Mbak” Jawab penjual kerang.
Sampai
di kos, Cempluk mengirim pesan sms ke Nikole.
“Ndhuk,
kerange dah siap.” Sms Cempluk.
“OK.
Bro. OTW.” Balasan Nikole yang bermaksud sedang perjalanan “On The way”.
Sambil
menunggu kedatangan Nikole, ia-pun mencoba kerang tersebut.
“Kok
mbukake angel, ya.” Pikir cempluk.
Tanpa
banyak waktu, ia segera mengambiil pukul untuk mengepruk cangkang kerang.
Beberapa
menit berselang, Nikole datang. Dan apa yang terjadi?
“Jebul rasane gurih pedhes ya, Ndhuk?”
Sambutan Cempluk sambil memukul kerang dengan pukulnya.
“Masya
Allah, Cempluk.” Jawab Nikole kaget dan langsung ngguyu kemekelen.
Cempluk hanya plingak-plinguk bingung melihat tingkah laku temannya.
“Kerang kuwi ora dipukul,
Pluk. Nanging dibukak. Ujunge dibenggang nganggo kuku indhik-indhik.” Jelas Nikole sambil mempraktekkan.
Cemplukpun
hanya bisa ndomblong.
Manten Kembar tukar
Tempat
Kejadian langka
ini terjadi pada hari yang langka pula, ketika tanggal 12-12-2012 lalu. Dimana banyak pasangan yang ingin menikah
pada tanggal itu. Begitu juga dengan tokoh kita ini. Kakak beradik yang juga
sudah mempunyai pasangan.
Ladi Cempluk dengan John Koplo dan Gendhuk Nicole dengan Tom Gembus.
Kakak beradik
yang tinggal di Nusukan, Solo ini ngotot
untuk bisa menikah ditanggal yang cantik itu. Akhirnya, setelah melalui rapat di
keluarga besarnya, orang tua Cempluk dan Nicole memutuskan untuk menikahkan
anak-anaknya bareng dihari yang sama.
Merekapun menyewa salah satu gedung paling ngejreng
di Solo.
Setelah waktu
yang ditentukan tiba, saat kedua pasangan memasuki panggung pengantin dan duduk
di kursi dampar kencana. Mak blaiik,
alangkah kagetnya MC pambiwara
yang mengetahui kejadian itu,
Karena menurut adat, posisi kedua
pasangan itu kliru.
“Pak, ingkang mbarep wonten tengen, lheh!.”
Kata MC pambiwara
kepada salah satu pamong petugas.
Pamong petugas itu langsung nginclik
menemui orang tua pengantin dan menerangkannya. Karena takut terjadi dengan
hal-hal sing ora-ora, maka orang tua pengantin
meminta untuk bertukar tempat.
Terang saja,
saat kedua pengantin pindhah enggon,
para tamu yang hadir tertawa ger-geran.
Kedua
pasangan pengantin hanya diam sambil ikut tertawa kecil.
Koplo yang
sering cengengesan, membisiki telinga
cempluk. “Untung yang ketukar cuma
tempat duduknya, bagaimana kalau pasanganya?”
Langsung saja Cempluk
njiwit paha Koplo. Koplo hanya bisa mlengeh dan klecam-klecem saja.
Opore Mambu
“Tak ada lebaran
tanpa opor ayam”. Begitulah semboyan keluarga John Koplo yang berdomisili di Kartasura,
Sukoharjo ini. untuk itu, satu hari sebelum bakda
kemarin, ibu Koplo, Cempluk
menyuruh anak remajanya menyembelih ayam.
“Plo, babon blorok sing ning njero kranjang kae
belihen” Pinta Cempluk.
Mendengar itu,
Koplo langsung semangat untuk mengambil pisau di rak belakang.
Setelah pisau diwungkal sampai landhep, bersegeralah Koplo mendatangi ayam yang dimaksud.
“Bismilahirohmanirohim..”
Doa Koplo saat mau menyembelih.
Beberapa saat
kemudian, Ayampun siap untuk dikum
dengan air panas dan bisa diberodholi
bulunya.
Malamnya sehabis
takbiran, Koplo langsung menuju dapur dan segera ngungkapi tutup wajan.
“Le, yen njikuk
sisih wae?” Ucap Cempluk.
Dasar koplo orang
yang tidak nggagasan. Pesan ibunya
sama sekali tidak digugu.
“Njikuk pinggir, padune ora oleh mangan pupune.”
Batin Koplo.
Esuk harinya saat
akan pergi ke lapangan untuk menunaikan sholat ID, Cempluk mengambil opor untuk
sarapan keluarga. Kagetlah Cempluk ketika nyiduk
opor ayam, terlihat duduh opor agak kenthel. Ia mencoba mencicipi, dan badalahh.. ternyata benar dugaanya, rasa opor berubah
menjadi kecut alias mambu atau basi.
Dengan muka yang mbesengut, Cempluk langsung nyemprot anaknya.
“Koplo, kowe ki piye? Gara-gara kowe opore
sak wajan dadi mambu kabeh”. Dakwa Cempluk tanpa tedheng aling-aling.
Koplo kaget bukan
kepalang. Ia tidak tahu kalau mangambil makanan bersantan yang sudah
dihangatkan itu tidak boleh dengan mengeker-ngeker.
Harus diambil yang bagian pinggir agar esuknya opor tidak basi. Menyadari
salah, Koplo hanya cengar-cengir
sembari mendengar luapan kejengkelan ibunya. Oalah, ora sida bakdan niee...
Prahara
Kelengkeng Bandungan
Hari libur
merupakan hari yang tepat untuk merefres pikiran. Namun kadang kala, bisa juga
menjadi momok tersendiri bagi sebagian orang, Seperti yang dialami oleh
bapak-ibu guru muda di salah satu SMK swasta Boyolali ini. Waktu liburan
beberapa pekan yang lalu, mereka berkunjung ke Bandungan. Setelah mubeng-mubeng
di Candi gedong sanga dan makan mereka memutuskan untuk mampir ke pasar buah
sebelum pulang.
“Sekilo
pinten, Bu?” Tanya Koplo kepada pedagang, sebut saja Cempluk.
“25 ribu, Mas.” Jawab Cempluk.
Setelah nyang-nyangan disepakati harga per
kilonya 22 ribu. Akhirnya Koplo, Gembus, Nikole dan teman-teman lainnya segera
merogoh kocek mereka masing-masing. Dan merekapun ngacir melakukan perjalan
pulang ke rumah.
Sampai di tengah
jalan, ndilalah mereka keslidan dalan. Koplo yang berboncengan
dengan Gembus segera berhenti di pinggir Jalan dan mengebel Nicole. Mereka
menunggu teman-temannya di salah satu bangjo Salatiga.
Sembari menuggu
teman-temannya, Koplo dan Gembus menyempatkan mencicipi kelengkeng.
Satu-demi satu
mereka mengupas kulit dan melahap buahnya, namun yang mereka rasakan hanya
kecut. Awalnya mereka hanya berfikir beberapa saja yang kecut, tapi ternyata
semua buah berwarna pucat yang menandakan buah akan busuk.
“Waduh, Pak. Kapusan niki.” Gembus Kaget.
“Wah.. Nggih niku, Pak. Padahal tadi saya
nyicipi manis semua.” Ucap Koplo.
Tidak lama
kemudian, teman-teman yang lain datang dan mendengar cerita Koplo. Merekapun
segera membuka kantong kresek wadhah
kelengkeng. Dan ternyata benar, kelengkeng mereka kecut semua.
Koplo baru teringat
bahwa waktu mencicipi, ia mengambil kelengkeng yang ada didepan penjual. Namun
saat pedagang menimbang, ia mengambil kelengkeng dari belakangnya yang diwadhahi tumbu.
“Lha, saya kira
depan belakang sama og, pak.” Koplo mencoba menjelaskan.
Teman-temannyapun
memakluminya dan mereka menganggap ini sebagai pelajaran untuk tidak kapusan lagi dilain hari. Ealaahhh...
Sholat Tandingan
John Koplo adalah
salah satu siswa dari SMK swasta di Sukoharjo. Sejak duduk dikelas XII ia selalu
rajin menjalankan ibadah sholat berjamaah, termasuk sholat dhuhur yang
ditunaikan di masjid sekolah. Seperti
pada beberapa minggu yang lalu Koplo sempat ketinggalan sholat waktu jam
istirahat ke-dua karena harus mengerjakan tugas sekolah terlebih dahulu.
“Tak tinggal sholat
sek, Ya.” Pamit Koplo kepada temannya.
Sampai di masjid ia
pun segera berwudhu dan masuk. Kebetulan siang itu sang imam tidak menempati
ruang imam dan hanya di pinggir sebelah kiri masjid. Ini adalah efek dari sang
imam yang sebenarnya makmum masbuk yang kemudian menjadi imam karena pundaknya
ditepuk. Karena itu lah posisi makmum mengikuti imam di belakangnya sampai
belakang. Ini membuat ruang masjid tidak penuh, hanya diisi yang sebelah kiri
saja.
Dari situlah Koplo
timbul inisiatif untuk menegakkan sholat sendiri di ruang masjid yang sebelah
kanan, bersebelahan dengan jamaah yang tadi.
“Dhik, sholat kana wae.” Ajak Koplo
kepada makmum yang lain yang kebetulan adik kelasnya.
Beberapa adik kelas
itu lalu menerima ajakan Koplo, dan akhirnya membentuk formasi sholat.
“Shof diluruskan.”
Pinta Koplo.
Namun sebelum
takhbiratul ihram dimulai, tidak disangka-sangka datanglah Tom Gembus guru
Koplo yang ingin menunaikan sholat dhuhur juga. Tanpa banyak bicara Gembus
langsung mendekati Koplo.
“Plo.. Satu masjid
itu hanya boleh satu jamaah saja.” Jelas Gembus.
“Apa iya ta, Pak?”
Koplo kaget.
“Kaya
politik wae, ngedeke tandingan.” Lanjut Gembus dengan tersenyum.
Koplopun hanya bisa
cengar-cengir sendiri mendengar
penjelasan dari gurunya itu. “Tujeknen
durung dimulai.” Grememeng Koplo.
Adik-adik kelas
Koplo yang akan menjadi makmumpun
nyekikik sendiri merasa kapusan oleh tingkah sok tau koplo. Ealahh...
Tangisan Bioskop
Beberapa hari yang lalu, salah satu bioskop
ternama di Solo memutar film atas novel yang pernah ditulis oleh sastrawan
besar negeri ini.
Film yang mengangkat sejarah tenggelamnya
sebuah kapal dengan dibumbuhi kisah cinta yang harus hanyut disapu gelombang
adat budaya itu, menjadikan para penonton berduyun-duyun mendatangi bioskop.
Begitu juga dengan sepasang kekasih di sebuah perkantoran swasta Solo ini,
Cempluk dan Koplo, yang juga sudah ngampet
nonton.
“Cin, besuk minggu jangan lupa jemput cinta
jam 11.00 teet, ya.” Cempluk ngelingke
Koplo lewat sms-nya.
“Iya, Say. Pasti cinta tepat waktu.” Jawab
Koplo.
Hari sabtupun berganti minggu. Dengan motor lanangnya, Koplo menghampiri kekasihnya,
Cempluk. Akhirnya jam 11.30 Wib. Mereka sampai di salah satu mall besar di kota
Bengawan dan mulai ngantri tiket.
Jam 12.00 tepat, mereka dan penonton lainnya akhirnya
bisa menikmati film yang mereka tunggu-tunggu.
Keadaanpun hening ketika film diputar. Saking terenyuhnya menonton film itu, Cempluk meneteskan air mata dan
mengambil secuil tisu dalam kantongnya.
“Huks..
huks.. ” Suara Cempluk sambil merapatkan kepalanya ke lengan Koplo.
“Ampun nangis,
Dhik, kan Cuma film lho.” Jawab Koplo.
“Huks..huks.. Huks..” Tangisan cempluk masih
terdengar lirih.
Saat itu juga penonton sebelahnya yang dari
tadi memperhatikan Cempluk nyelethuk, “Mbake
ki, mung ngono wae nangis”.
Tiba-tiba beberapa orang yang mendengar suara
itu langsung tertawa dan memandang pasangan Koplo dan Cempluk. Walaupun keadaan
remang-remang, Koplo tak bisa menahan rasa malunya. Ia hanya bisa cengar-cengir
sendiri. Ealaah..., ceweknya yang polah,
tapi cowoknya yang kepradah niee..
Tragedi Ujian Guru
Kemajuan
teknologi telah menuntut para guru untuk bisa mengoperasikan komputer, termasuk
juga Pak John Koplo, guru di SMK Sukoharjo yang terkenal dengan gaptek(gagap
teknologi) ini. Pasalnya UKG(Uji Kopetensi Guru) yang dilaksanakan beberapa
pekan lalu juga menggunakan perangkat komputer.
Sesuai
jadwalnya, Pak Koplo dan guru lain duduk di depan komputer yang sudah
disediakan, sembari mendengarkan petunjuk dari admin, Tom Gembus.
“Bapak
ibu guru sekalian, untuk mengerjakan soal UKG ini sangat mudah, hanya dengan
mengeklik jawaban. Jika sudah selesai semua, silahkan klik gambar lima jari
diatas soal. bla...bla...bla...” Terang Gembus. Selanjutnya para guru terhanyut
oleh soal-soal yang dibatasi waktunya.
Satu
jam kemudian setelah dirasa selesai mengerjakan, Koplo mengeklik gambar lima
jari. Muncullah jumlah betul dan salah terhadap soal yang sudah dikerjakan.
“Pak,
nilai saya sudah muncul.” Tanya Koplo mengagetkan guru yang lain.
Gembus
langsung bergegas ke tempat Koplo dan berucap, “Jawaban yang benar 36, Pak.
yang salah ada 44.
Mendengar
itu Koplo kaget. “Lho, kok jumlah jawabannya banyak baget, Pak?” Tanyanya
kemudian.
“Soalnya
ada 80, Pak.” Jawab Gembus.
“Tadi
soalnya cuma 60 itu, Pak.” Koplo masih ngeyel.
Usut
punya usut ternyata Koplo tidak menahu kalau soal nomor 61 sampai 80 itu ada
dibawahnya dengan menurunkan scroll
atau penurun halaman.
Keadaan
yang serius, saknalika berubah
menjadi gelak tawa, ditambah lagi ada salah satu guru yang nyelethuk, “ Maklum, Pak. Guru masa lalu.”
Berkah Abu Gunung Kelud
Gunung Kelud beberapa pekan yang lalu ternyata
berdampak besar di seluruh pulau Jawa, karena abu vulkaniknya menyabar ke
berbagai daerah, termasuk Kota Boyolali, tempat John Koplo tinggal. Saat pagi
menjelang, depan rumah Koplo sudah penuh dengan abu padahal ia harus berangkat
kerja ke sebuah pabrik tekstil yang berada di Kartasura.
Pemuda yang masih perjaka ini sengaja
mengambil beberapa masker sisa tragedi Merapi tahun lalu di almarinya. Satu
untuk berangkat dan satunya untuk pulang.
Setelah semua sudah siap, akhirnya seperti
biasa ia menuju ke terminal Boyolali yang tidak jauh dari rumahnya untuk
menunggu Bus. Bersama dengan penunggu bis yang lainnya, ternyata hanya beberapa
orang yang memakai masker.
Koplo yang membawa masker dobel merasa iba
terhadap gadis disebelahnya, Sebut saja Cempluk.
”Mbak,
kok mboten mbeta masker ?”tanya Koplo.
“Mboten,
Mas. Lha ajeng tumbas pun telas sedanten.”Jawab Cempluk.
Dengan kesempatan ini, Koplo langsung
mengeluarkan Masker yang satunya dari Tas.
“Niki
Mbak, kula mbeta dobel.” Tawaran Koplo sambil memberikan masker tadi.
“Trimakasih, Mas.” Timpal Cempluk dengan
kikuk.
Dari pemberian masker tadi akhirnya
pembicaraan mereka melanglang buana ke mana-mana termasuk perkenalan.
“Lha Mbak Cempluk kerjane di mana?” Tanya
Koplo lanjut.
“Toserba Ampel, Mas.”Jawab Cempluk.
Akhirnya Koplo memberanikan diri untuk minta
nomer HP Cempluk. Karena pekewuh atau
terpaksa, Cemplukpun mau saja menuruti permintaan tadi. Dan karena bis sudah
keluar dari terminal, Cempluk segera
berpamitan kepada Koplo dan wajahnya segera berlalu.
Koplo hanya bisa berkata dalam hati dan
senyam-senyum sendiri, “Alqamdulillah, abu yang membawa berkah.”
Es Tombok Campursari
Penjual jajanan
yang kreatif sudah pasti akan mengundang anak-anak untuk menghampirinya. Seperti
yang dilakukan Tom Gembus, salah satu penjual es keliling yang beberapa hari
lalu berjualan di desa John Koplo, Kartasura. Gembus dengan lincah memainkan
alat musik mbelero, alat musik yang digunakan untuk drum band, demi menarik
simpatik anak-anak.
“Ting..ting....ting..ting....ting..”
Bunyi notasi lagu “tukang becak” yang segera membuat anak-anak sekitar
berkerumun mengelilinginya.
Beberapa anak membeli
es tersebut, namun banyak yang tidak membeli karena memang berat diongkos. Kebetulan
saat itu Koplo baru pulang dari kerjanya.
“Lik, tukokne es campurari.” Rengek
Nicole, keponakan Koplo.
“Ya, Nduk. Sek ya.” Jawab Koplo.
Koplo keluar rumah untuk
melihat penjual es yang kebetulan mandeg
di timur rumahnya.
“Lho kok mung padha nonton thok, ora tuku?” Tanya
Koplo kepada anak-anak tetangga.
“Ora duwe dhuwit og, Mas.” Jawab salah
satu anak tadi.
“Yowis, Pak. niki mang sukani es
setunggal-setunggal, nggih.”
Mendengar itu, dengan
cekatan Gembus meracik es campursari, es yang menggabungkan bahan dari wedang
asle dengan tambahan cincau, kacang, nangka, jenang mutiara dan emping.
“Pinten, Pak?” Tanya Koplo.
“Tiga puluh enam ribu,
Pak.” Jawaban Gembus mengagetkan Koplo.
“Lha satunya
hargane berapa ta, Pak?” Tanya Koplo heran.
“Empat ribu, Pak.”
Jawab Gembus dengan menunjuk harga yang sudah tertulis di gerobak belakang.
Koplo baru tahu tulisan itu karena tadi ia datang dari arah depan, jadi tulisan
harga tidak kelihatan.
Akhirnya Koplo
terpaksa menggagahi dompetnya sembari grundelan
sendiri,”Asemik.. tak kira regane mung
sewunan.”
Huruf Tekek
Gratisan
Seumur-umur,
baru kali ini John Koplo salah satu warga Karanganyar berurusan dengan polisi.
Bukan perkara tilang, melainkan perkara mencari SIM C.
Ia jadi
penasaran setelah diberi tahu oleh Bapaknya kalau tes mencari SIM itu salah satunya
bisa membaca huruf tekek.
Setelah sampai
ditempat tujuan, Koplopun mulai Tanya kepada pak Polisi yang bertugas. Setelah
mengambil berbagai macam formulir pendaftaran, Koplo masuk dalam ruang tes
penglihatan.
“Pak, Saya mau
tes membaca huruf tekek?” Koplo langsung aja menyerobot tanpa tedheng aling-aling.
“Betul sekali,
Pak”. Jawab Polisi Gembus dengan senyum.
Gembuspun segera
membuka buku tes buta warnanya.
“Ooo..ini
ta yang dinamakan huruf tekek. Ini sih ga mirip sekali dengan tekek, tapi lebih
mirip dengan telur tekeknya.” Batin Koplo.
“Coba sekarang
disebutkan. Ini angka berapa, Pak?” Polisi Gembus memulai mengetes.
“19, Pak.” Jawab
Koplo.
“Kalau yang ini”
Tanya Polisi Gembus lagi.
“78, Pak” Koplo lagi-lagi menjawab dengan benar. Dan begitu
seterusnya sampai 10 pertanyaan.
“Sudah cukup.”
Polisi Gembus mengakhiri pertanyaannya dengan menutup buku.
“Gimana tesnya,
Pak?” Tanya Koplo penasaran.
“Bagus-bagus.
Betul semua. Jadi sampeyan dinyatakan
lolos.” Gembus memberi kesimpulan.
“ha..ha..ha..
alqamdulillah.. terimakasih sekali, Pak Polisi.” Koplopun menyalami Gembus
dan langsung nyelonong keluar, tetapi
langsung dipenggak oleh Gembus.
“Lho, Pak, Pak..
Sampeyan mau kemana?” Bengok Gembus.
“Mau tes yang
berikutnya lagi, Pak” Jawab Koplo mantap.
“Ini
administrasinya di bayar dulu.” Lanjut Gembus.
“Lho, bayar? Kan
jawaban saya betul semua, Pak.” Koplo kaget dan ngeyel.
“Justru kalau
betul itu malah mbayar, Pak!” Jawab Gembus.
Setelah
dijelaskan lagi, Koplopun segera merogoh kantongannya.
Yang pada ngantripun
ngekek-ngekek tak tertahankan.
KAPUSAN TENAGA DALAM
Bagi sebagian
orang, hal-hal yang berbau mistik masih dipandang sebagai sesuatu yang memiliki
daya tarik tersendiri. Begitupun dengan Dul Kentut, salah satu pemuda di Karanganyar
ini. Buktinya saat bekerja di Purwokerto, ia rela membayar tigaratus ribu untuk
mengikuti pengisian tenaga dalam.
Kebetulan beberapa
pekan yang lalu ia mengambil cuti untuk pulang ke desa. Dengan kemaki ia membeberkan ilmunya kepada
sobat karibnya, Jim Belong.
“Jim,
saiki aku nduwe tenaga dalam.” Pamer Dul Kentut.
“Weh, apa iya, Dul. Endi buktekna.” Jim
Belong tidak percaya.
Dul Kentut bergegas
mengambil telur pitik jawa yang telah
dipersiapkan. Ia-pun menceritakan aturan mainnya kepada Jim Belong. Dengan
mengambil nafas panjang dan membaca mantra, akhirnya Dul kentut memberikan
telur itu kepada Jim Belong. Dul Kentut mengangguk, yang artinya telur sudah
bisa diremas. Jim Belong mulai menggenggam telur itu dengan sekuat tenaga. Dan
benar, telur tidak pecah.
Besuknya, berita
mengenai tenaga dalam sudah tersebar diseluruh pemuda-pemudi desanya, termasuk
Yu Cebret, mahasiswa jurusan fisika di Universitas ngetop sak Solo itu.
Dengan segera Yu
Cebret mengajak Jim Belong untuk bertemu Dul Kentut.
“Dul, iki Yu Cebret pengin ngerti sing kaya
gek wingi.” Tukas Jim Belong.
Dengan percaya diri
Dul Kentut segera melakukan hal yang diminta Yu Cebret. Yu Cebret hanya
tersenyum, dan sedikit memberi komentar.
“Mas Dul Kentut,
ini aku juga bisa tanpa mantra.” Tanggapan Yu Cebret sembari melakukan hal yang
sama seperti Dul Kentut.
“Menurut hukum alam, cairan di dalam telur
akan tetap jika ditekan dari segala arah.” Tambah Yu Cebret. Jim Belong dan Dul
Kentut hanya bisa plenggang-plenggong
saja. Ealah.. tiwas wis ngetokke 300 ewu,
jebule kapusan. Makannya yang normal-normal sajaa...
Nomor HP
Misterius
Hilangnya barang yang dicintai otomatis akan
mengundang kekesalan yang teramat dalam. Apalagi diketahui siapa pelakunya,
seperti yang dialami John Koplo, guru di Karanganyar ini. Seperti biasa
beberapa pekan yang lalu, John Koplo berangkat ke sekolah. Setelah sampai dan
masuk kantor, ia didekati Cempluk, temannya.
“Pak, HP jenengan gimana ta? Kok saya telpon salah
sambung?” Tanya Cempluk.
“Walah.. HP saya hilang, Bu. Satu mingguan yang
lalu.”Jawab Koplo melas.
“Lho.. Kok dihubungi ada yang mengangkat, ya?”
Lanjut Cempluk.
Mendengar jawaban dari Cempluk itu, dada Koplo langsung
panas. Ia beranggapan bahwa orang yang menerima telepon dari Cempluk itulah
yang mencuri HP-nya. Tanpa ba..bi..bu.., Koplo langsung memencet nomernya yang
dulu.
“Pak sampeyan siapa? Dan rumahnya dimana?” Tanya
Koplo mengagetkan.
“Maaf ini siapa ya?” Suara dari seberang, sebut saja
Gembus.
“Jangan banyak tanya, Pak. ini nomer saya yang hilang
dengan HP-nya. Berarti bapak yang mengambil HP saya.” Gertak Koplo.
Nada marahpun sempat terlontar dari kedua belah
pihak. Teman-teman Koplo hanya bisa mendengarkan penuh takut. Tiba-tiba Nikole,
salah satu teman guru menghentikan obrolan Koplo dan Gembus.
“Pak. Belum tentu ia yang mengambil HP bapak.” Tegas
Nikole.
“Sudah jelas, Bu. Ini benar nomer saya. Walau ia
ngakunya beli di konter.” Eyel Koplo.
“Belum tentu, Pak. Karena nomer yang sudah tidak
aktif itu akan didaur ulang lagi oleh perusahaan kartu HP tersebut.” Jelas
Nikole.
Mendengar keterangan dari Nikole, Koplo hanya plenggang-plenggong saja meski sejatinya
belum bisa menerima penjelasan tersebut. Rekan-rekan yang melihat hanya bisa
mengelus dada dan menggelengkan kepala.
Pengajian kok Fitness..
Salah
paham selalu menuai kelucuan tersendiri, yang begitu menggoda untuk dikisahkan
kembali. Seperti cerita yang sudah terjadi tiga tahunan yang lalu ini.
Suatu
saat sekelompok remaja masjid di Karanganyar ini, setelah mengaji mereka
berkumpul di depan masjid untuk sekedar
guyonan. Maklum masih ABG.
Disaat
kumpul-kumpul itu, timbulah ide dari Tom Gembus.
“Cah, sesuk minggu nge-Gym gelem ora? Aku ngerti nggone.” Tanya Gembus semangat.
“Wah cocok kuwi, Mbus. setujuu!” Jawab
teman-temannya kompak termasuk Koplo.
“Wah.. teman-temanku ini calon penghuni surga
semuanya. Ngajak ngaji terus. Cemungut-cemungut” Batin Koplo sambil lheyeh-lheyeh.
Hari
yang ditunggupun datang. Mereka siap dengan kendaraan berboncengan.
“Kurang sapa, Cah?” Tanya Gembus.
“Kurang Koplo, sebentar lagi jare. Mau wis tak SMS.” Jawab salah
satu temannya.
Tak
lama kemudian datanglah Koplo dengan baju koko plus kupluk putihnya.
Gembus
dan teman-temanyapun hanya mlongoh
terhorok-horok.
“Lho, Plo. Ora salah nganggo klambi, ta?”
Tanya Gembus penasaran.
“Lho,
Ada yang salah, ta? Kalau pengajian yang ngisi AA Gim itu biasanya yang hadir buanyak.
Makanya harus rapi. Kalian malah Cuma kaosan.” Dengan PD-nya Koplo menjelaskan.
“Pengajian
AA Gim? Siapa yang bilang? Kita itu mau nge-Gym alias fitness, bukan pengajian
AA Gim!” Jelas Gembus sambil ngampet
ngguyu.
Wajah
Koplo berubah jadi merah seperti bawang merah karena kisinan. Gembus dan
teman-temannya pun menyambutnya dengan tertawa ger-geran.
Dengan
terpaksa Koplo kembali ke rumah untuk ganti baju.
Sejak
saat itu, Gembus dan kawan-kawannya memanggil Koplo dengan sebutan AA Gim.
Hehe…
wah selamat ya, sudah jadi ustad nie….
Rumus Palsu
“STM kok sinau”.
Itulah motto para siswa kelas 2D jurusan otomotif di salah satu STM(sekarang
SMK)Karanganyar, 8 tahun yang lalu ini. Sayangnya motto itu terlanjur meresap ke
setiap sendi-sendi tubuh mereka, sehingga hal yang fatal-pun harus mereka
hadapi.
Saat ujian kenaikan kelas, pelajaran PDKM (perhitungan
Dasar Kontruksi Mesin) yang terkenal dengan rumus-rumusnya yang njlimet pun di mulai.
Ruangan full
cowok yang berisi campuran kelas 1 dan
kelas 2 ini mengerjakan soal dengan thingak-thinguk,
termasuk Tom Gembus, salah satu siswa otomotif 2D. Saat pengawas terlena,
para siswapun saling tirunan bak
rantai makanan.
“Mbus, nomer 4
wis dadi rung?.” Bisik teman Gembus di belakangnya.
“Wis, ndang
cepet tirunen.” Jawab Gembus lirih setelah nirun jawaban dari teman lainnya.
Setelah bel berbunyi 3 kali yang berarti waktu
selesai, maka pekerjaan merekapun dikumpulkan. Dengan wajah penuh lega dan
tanpa dosa, para siswa keluar meninggalkan ruang ujian.
Tetapi betapa kagetnya Tom Gembus dan teman-teman
lainnya ketika digiring ke ruang BP satu minggu kemudian.
“Siapa yang pertama kali menulis jawaban nomer 4
romawi 2?” Pertanyaan Koplo dengan muka serius.
Semua siswa hanya diam dan plonga-plongo saja.
“JAWAAB..” Teriak
Koplo dengan tangan menggebrak meja. “DEEERRR”
“Ja..Jawaban yang mana, Pak?” Gembus mengawali dengan
suara gemeteran.
Akhirnya Koplo menyerahkan hasil pekerjaan PDKM
mereka. Terlihat bahwa jawaban nomer 4 romawi 2 yang mereka tulis adalah Ko=p+10 / 5t -r=E5.
Setelah diamat-amati, mereka baru sadar kalau rumus
itu bisa dibaca “Koplo Stres”, yang tak lain adalah nama guru PDKM-nya sendiri.
Setelah tak ada yang mengaku, siapa yang menciptakan
rumus itu, merekapun terancam dengan pemberian Surat Peringatan beserta surat
panggilan orang tua.
Siulan Mahasiswi
“Ora obah ora mamah”, itulah semboyan
hidup John Koplo, mahasiswa kampus swasta Solo yang ngekos di Pabelan. Selesai jam kuliah ia langsung ke warung Mi-So
dekat kampusnya untuk menjadi pramusaji. Beberapa minggu yang lalu seperti
biasa ia meladeni para pelanggannya.
“Mas, mi ayamnya
tiga, bakso dua, minumnya es jeruk semua.” Ucap Lady Cempluk salah satu pembeli.
“Ya, Mbak.” Jawab
Koplo.
Koplopun bergegas
menyiapkan pesanan. Beberapa menit kemudian Koplo kembali dengan membawa tepak
berisi pesanan Cempluk. Gerombolan Cempluk yang semua mahasiswi itupun segera
melahap sembari ngobrol ngalor-ngidul. Sementara
Koplo masih disibukkan dengan pesanan pembeli yang lain.
Ketika Koplo
melintas di samping meja Cempluk, ia mendengar suara siulan.
“Siiiuuuiiittt...”
Suara siulan dari meja Cempluk.
Mendengar suara
tersebut jantung Koplo langsung tratapan.
“Asem-ik, mbake nyingsoti aku.”
Batinnya.
Ia segera berbalik
arah menuju meja Cempluk, dan berucap, “Wah mbake
bisa saja. Gimana Mbak, ada yang bisa saya bantu?”
Cempluk dan
teman-temannya hanya saling pandang, lalu Cempluk menyahut, “Maksudnya, Mas?”
“Lho, yang tadi
menyiuli saya?” Tanya Koplo.
Mendengar
pertanyaan itu, Cempluk dan teman-temannya langsung menundukan kepala dengan
wajah ngampet ngguyu. Tiba-tiba
Nikole salah satu teman Cempluk nyeletuk, “Maaf, Mas, tadi bunyi sms HP saya.”
Mak blaiikk.. Mendengar itu,
wajah Koplo langsung abang mbranang, kisinan. Ia segera minta maaf dan
meninggalkan meja tersebut. Kisinan-nya
tambah menjadi-njadi ketika dengan lirih mendengar grenengan dari meja Cempluk, “Mase ke-GR-an baget sih.”
TEH YANG TERTUKAR
CFD (Car Free
Day) selalu digunakan oleh sebagian warga untuk berolahraga maupun bersantai
ria. Tak terkecuali dengan John Koplo dan Lady Cempluk, dua sejoli yang berasal
dari Karanganyar ini. Hampir setiap minggu mereka jalan-jalan di CFD idep-idep olahraga sambil ngeplekke ilat. Karena disana tersedia banyak jajanan yang menggiurkan.
Dua pekan yang
lalu, dua sejoli ini kembali menapaki jalan slamet riyadi yang mereka anggap
indahnya setengah mati itu. Setelah mencicipi beberapa kuliner ringan, Koplo
menawari Cempluk untuk makan besar.
“Dhik, maem yo.. wetengku selak keroncogan ki.”
Tawaran Koplo.
“Nggih, Mas.. maem apa enake, Mas?.” Tanya
Cempluk.
“Soto wae, Dhik. Mesthi seger. Kita cari
tempat yang pas dulu.” Jawab Koplo.
Tak lama kemudian
mereka duduk disalah satu warung lesehan yang menyediakan soto. Dengan cekatan
penjual itu menghidangkan soto yang keluknya masih kemutuk beserta teh anget pesenan Koplo. Pasangan 2 sejoli itupun
langsung melahap soto daging sapi yang rasannya selangit itu.
Karena
pengunjung semakin ramai, Koplo merasa kurang nyaman jika harus berlama-lama di
lesehan.
“Wis, Dhik. Bali yo.” Ajak Koplo yang
dengan spontan mengambil teh anget dan segera meneguknya. Namun betapa kagetnya
Koplo ketika pengunjung depannya nyelethuk,
”Mas, Ngapunten. Teh e sampeyan kadose sing
niki.” Ucap seorang Bapak didepan Koplo yang bernama Tom Gembus itu.
Mak jedherrr..
muka Koplo sontak menjadi abang ireng
setelah melihat teh miliknya masih anteng
diatas meja yang berukuran sempit itu.
“nga-ngapunten, Pak. Kula kesupen. Kula ijoli”
suara Koplo terlihat ndredheg.
“Boten napa-napa, Mas.” Jawab Gembus
sambil tersenyum.
Koplo langsung
menggeret Cempluk dan segera mendatangi penjual untuk membayar. Tidak lupa ia
mengganti teh anget yang ia salah minum tadi walaupun Gembus sudah
mengikhlaskannya. Ealaahhh...
Ulang Tahun Facebook
Kejadian yang
dialami John Koplo, salah satu guru SMK swasta di Boyolali ini benar-benar
mengharukan. Karena berhubungan langsung dengan ulang tahunnya. Ceritanya saat
dia mengajar di kelas yang kebetulan binaanya, ia sudah merasakan hal-hal yang
aneh. Keanehan itu terlihat banyak siswa
yang menyanyi bersama-sama. Koplopun menyuruh para siswa diam dan ia langsung
memulai pelajaran.
Di pertengahan
pelajaran, dua siswi diantaranya minta ijin ke belakang, sebut saja Gendhuk
Nikole dan Lady Cempluk. “Pak ngapunten,
badhe ijin toyan ten wingking”, Ucap kedua siswi tersebut menggunakan basa krama karena kebetulan waktu itu
pelajaran basa Jawa. “Nggih, mangga dhik”, Jawab Koplo.
Tak lama kemudian,
kedua siswi tersebut masuk kelas disambut suara riuh para siswa lainnya.
Alangkah kagetnya John Koplo karena siswi tersebut membawa kue ulang tahun
lengkap dengan lilinnya. Lagu Happy birday-pun
melantun mendayu-ndayu.
“Lho,
sinten sing ulang tahun?,” Tanya Koplo kebingungan.
“Jenengan, Pak. Kita lihat di facebook”.
Jawab Gembus salah satu muridnya. Koplo pun dengan gerak reflek langsung mengeplak bathuknya sambil berucap,” wadhuh”.
Ia teringat kalau
di Fb-nya tertera tanggal 28 oktober di tanggal lahirnya, Padahal hari lahirnya
2 juli. Ia sengaja menulis tanggal itu karena tak ingin orang-orang tahu kapan
ultahnya.
Karena tidak ingin
membuat kecewa murid-muridnya, maka Koplo segera mengucapkan terimakasih kepada
murid-muridnya dan menyalaminya satu-persatu. Setelah selesai potong kue dan
meniup lilin, Koplo segera minta maaf kepada murid-muridnya karena tanggal
lahir yang tertulis dalam FB itu keliru. Namanya juga anak-anak, setelah tahu
kliru malah pada ngguyu kepingkel-pingkel.
Koplopun langsung
mengalami kontroversi hati dan mbatin, “Oalah,
sakjekke urip lagi iki aku nyebul lilin ultah. Jebul penak tenan diulang tahuni.
Maturnuwun murid-murid”.
Dikerjain Idling Motor
Motor keluaran terbaru terkadang memiliki ciri
khas sendiri. Dan penggunanya bisa terkecoh dengan ciri khas tersebut. Begitu
juga dengan Lady Cempuk, seorang ibu rumah tangga yang berdomisili di daerah Kartasura,
Sukoharjo ini. Belum lama, Cempluk mereyen
motor matik baru milik anak tercintanya, John Koplo.
Beberapa hari yang lalu Lady Cempluk ngacir
menuju pasar Kartasura yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari rumahnya
tanpa diantar oleh Koplo.
Sesampai di pasar, ia langsung membeli
beberapa belanjaan yang tidak membutuhkan waktu lama dan segera pulang. Beberapa
meter meninggalkan pasar, Cempluk bertemu Nikole, tetangganya, yang hanya
berjalan kaki.
“Ayo, Yu
bareng aku wae.” Pinta Cempluk.
Cemplukpun berhenti dipinggir jalan dan
menunggu Nikole ngunggahke bokong ke
atas jok motor. Namun Cempluk merasa kaget karena mesin motor berhenti. Ia-pun beberapa
kali mencoba menstater namun motor tetap tidak menyala.
“ Kok malah mati ya, Yu.” Cempluk
kebingungan.
“Apa peh
motor anyar dinggo goncengan ora isoh, Dhik.” Nicole
menambahkan dan langung turun dari jok motor.
“Jane
ora ki, gek wingi wae Koplo nggoncengke simbahe ya isoh og.” Cempluk
menimpali.
Beberapa saat motor diuthek-uthek dan minta tolong kepada orang-orang yang kebetulan
melintas disitu namun nihil. Akhirnya 2 orang ibu itu memutuskan untuk menuntun
motor sampai ke rumah.
“Lho,
Bu. Kok dituntun enten napa?” Tanya Koplo kaget.
“motore
iki piye ta, Le jane. Bar mandheg langsung ora bisa di starter malah mati.” Jawab
Cempuk.
Koplopun langsung tanggap ing sasmita, ia tertawa sendiri dan akhirnya memaklumi
ibunya.
“Bu, niki
pake idling.” Sambil menunjuk pencetan yang berada di atas setang bagian kanan.
“ Menawi
idlinge aktif, yen wektu motor mandheg mesin otomatis mati. Yen pengin mlaku
maneh tinggal ngegas mawon.” Terang Koplo.
Gara-Gara
Rok Mini
Gencarnya lagu dangdut yang berkisah tentang rok
mini, ternyata berpengaruh besar pada sebagian orang, termasuk Lady Cempluk,
Gadis ABG Colomadu, Karanganyar ini. Pasalnya hampir setiap sore, Cempluk yang
masih duduk di bangku SMA kelas XI ini nongkrong di pinggir jalan, timur
desanya mengenakan rok mini bersama teman-teman sebayanya. Berita inipun
menjadi perbincangan hangat dikalangan cowok muda warga sekitar, termasuk John
Koplo dan Tom Gembus.
Kejadian lucupun terjadi. Ceritanya, beberapa
pekan yang lalu, disore yang cerah, Koplo sudah siap dengan motor jago-nya.
Kemudian ia memanggil Gembus dengan sms.
“Piye, Bro,
wis siap ?”. Sms Koplo.
“OK, Siap bos.” Jawab Gembus beberapa menit
kemudian.
Dengan sigap Koplo menghampiri Gembus. Kini, dua
sahabat karib itu melaju dengan muka yang menggebu-nggebu.
Ternyata benar, setelah sampai di timur Desa,
Gembus dan Koplo melihat Cempluk dengan penampilan rok mininya.
“Oalah, Plo.
Seksi tenan ya.” Komentar Gembus.
“Iya,
Mbus.” Jawab Koplo dengan kalamenjingnya
yang munggah-mudhun.
Namun alangkah kagetnya Koplo ketika Gembus mbengok sambil memukul-mukul pundaknya.
“Awas, Plo. Ngarepmu.”
Teriak Gembus.
Koplopun baru sadar bahwa setang motornya membelok
ke kiri. Padahal dipinggir jalan itu ada kalenan
kecil untuk pengairan sawah. Namun, terlambat sudah Koplo membanting
setangnya ke arah kanan. Akhirnya, motor bersama dua sahabat karib itupun
terjungkal ke kalenan tadi.
Sontak orang-orang sekitar yang melihat kejadian
itu langsung ketawa sejadi-jadinya, termasuk Cempluk dan teman-temannya.
Walaupun, mereka tidak apa-apa dan kondisi motor yang hanya sedikit lecet, tapi
dengan kejadian ini setidaknya mereka kapok
untuk tidak plingak-plinguk saat berkendara.
Koco halaman
John koplo yang baru saja lulus dari salah satu universitas swasta di
Solo, tidak terlalu sulit untuk mencai kerja. Dengan gelarnya S.Pd, ia
mendaftar di SD favorit yang full day
di daerah Solo baru setelah dapat info dari tetangganya. Satu minggu jatah
observasinyapun sudah dilalui. John koplo sudah ngampet
ingin sekali diberi jam untuk mengajar. Ia bilang kepada kepala sekolahnya, bu Lady
Cempluk. “Bu, saya sudah siap untuk mengajar.” Bu Lady Cempluk pun menjawab “beneran
sudah siap nih? yakin sudah siap? ga takut ma anak-anak bandel?ga boleh njewer,
ga boleh njiwit, ga boleh bentak-bentak lho yaa. Yadah, mulai besuk senin mengajar
di kelas 2 dulu, jadwalnya bisa diambil nanti sehabis pulang di kantor guru. Oya
Pak John, jangan lupa buku paket-paketnya minta kepada penjaga perpus, bilang
saja yang nyuruh saya gitu.”
“woke, siap bu Lady Cempluk, Cuma ngajar kelas 2 ma,
keciil. Kagak bawa buku paketpun dijamin luancar” jawab John koplo optimis banget.
Hari senin, selasa, rabu sudah berlalu. John koplo pun sudah mengenal sebagian murid kelas 2. “kalau ada murid yang
rame ma, biasa. Namanya juga anak-anak” ujarnya.
Hari kamis, jam ke 5-6 jadwalnya pelajaran basa
jawa. “bocah-bocah, cobo saiki dibukak
LKS e koco papat, digarap sing romawi siji
yo.” “nggih, Pak”
jawab siswa serentak. Kecuali Tom gembus yang malah melihat jendela kaca yang
dibuka dan menghitungnya. Beberapa menit berlalu, John koplo keliling
melihat-lihat anak didiknya dan berhenti di samping meja Tom Gembus karena ada
yang aneh dengannya. “ lho, dek tom kok
malah nggarap koco wolu?” “ lha kacanya kan yang dibuka jumlahnya delapan
Pak, coba dihitung sendiri itu.” Sambil menuding jendela samping kelas. “bukan
koco itu, tapi koco halaman di LKS
ini dek Tom.”jelas John Koplo dengan sabar. “bukan Pak,
kata bapakku, koco itu ya itu, jendela kaca.” jawab kembali Tom Gembus” “Dek Tom,
basa jawane halaman itu koco” John Koplo mulai anyel.” “bukan Pak, kata Bapakku yang itu, saya lebih percaya bapak
saya.” Suara Tom Gembus agak keras.”oo
lha, bocah kok dikandani ngueyel “
tangan John Koplo memegang kuping Tom gembus hendak menjewer. Tapi belum
kesampaian njewer, Tom Gembus sudah
menjerit keras. “Pak John”suara bu Ladi Cempluk malangkerik
di pintu kelas.” Eee Bu Cempluk. Nga, nga
punten, Bu.” gemeteran tangan John Koplo dan wajahnya kemerahan karena
takut.”
Kartu Gigi
Syair dangdut yang menyatakan “lebih baik sakit gigi
dari pada sakit hati” ternyata tidak sepenuhnya benar. Pasalnya John Koplo salah satu pemuda di
Colomadu ini merasa kapok dengan rasa
nyeri di gigi krowaknya. Karena tidak
tahan dengan rasa sakitnya, akhirnya beberapa pekan yang lalu ia memutuskan
untuk berobat di puskesmas terdekat di kecamatannya.
Jam setengah delapan ia sudah siap meluncur ke tempat
yang sudah direncanakannya. Beberapa menit kemudian ia sampai di tempat tujuan
dan segera memakirkan sepeda motor.
“Pak, Mau daftar.” Ucap Koplo kepada petugas
puskesmas, sebut saja Tom Gembus.
“Silahkan ambil kartu pendaftaran di depan, Pak.”
Jawab Gembus.
Koplo menuruti saja perintah Gembus. Setelah mengambil
kartu pendaftaran, Koplo mengantri agak lama karena nomer pendaftarannya nomer
urut 12.
Setelah setengah jam menunggu, Koplo yang dari tadi kiyer-kiyer dan gembrobyos karena ngampet sakitnya
dipanggil oleh Gembus.
“Nomer 12.” Gembus memanggil lewat mikropon.
“Saya Pak.” Koplo menyerahkan nomer pendaftarannya.
“Sakit apa, Mas?” Tanya Gembus.
“Mau njadhilke
gigi, Pak.” Jawab Koplo.
“Lho kok kartu pendaftarannya biru, Mas? Kalau Gigi
yang merah. Coba silahkan ambil yang merah.” Gembus menjelaskan.
Mendengar itu Koplo langsung bergegas mengambil kartu
yang merah, dan apesnya kartu yang merah sudah ludhes habis.
“Pak, yang merah telas
niku.” Protes Koplo.
Gembus menjelaskan bahwa kartu biru itu untuk sakit
umum dan yang merah untuk sakit gigi. Karena sudah terlanjur Gembus memberi
saran agar meminta obat sementara ke dokter umum dan besuk kembali lagi untuk
diperiksa dokter gigi.
Harus bilang apa lagi, Koplo hanya bisa mengikuti
saran petugas itu. Satu setengah jam kemudian ia keluar dari puskesmas dengan
mengutuk nasibnya yang sial gara-gara salah ambil kartu pendaftaran. Ealahhh...
Konangan japlak
Di Karanganyar, ada salah satu SMK Swasta
favorit yang menerapkan kurikulum baru khusus untuk kelas X. Beberapa waktu
yang lalu, waktu mid semester ada pelajaran sejarah Indonesia, dimana soal-soal
tidak lagi menggunakan pilihan ganda. Semua uraian. Kejadian mengharukanpun
terjadi disini. Beberapa pekan yang lalu SMK ini mengadakan mid semester. Semua
anak mengerjakan dengan sungguh-sungguh. Namun salah satu siswa itu bernama
John Koplo. entah gawan bayi atau apa, walaupun a sudah sinau nglembur dan
mruput.
Saat waktu berjalan lbih dari setngah jam,
pekerjaan Koplo hampir selesai. Karena ia menggunakan jurus adalannya yaitu
menyimpan kepekan yang sudah dipersiapkan dari rumah yang ia letakkan di bawah
soal dan jawaban.
Waktu terus berlalu, dan pekerjaan Koplopun
selesai. Ia tampak tenang dan senyum-senyum sendiri.
“Alqamdulillah, akhirnya jadi juga.” Gumamnya
dalam hati.
Ia tampak leha-leha dengan posisi kaki
ongkang-ongkang. Seperempat berlalu akhirnya bel berbunyi satu kali, pertanda
waktu kurang 10 menit. Dengan PD Koplo keluar kelas diikuti beberapa teman yang
sudah selesai mengerjakan soal.
Saat itu juga pengawas yang bernama Cempluk
mengambil kertas jawaban para siswa yang sudah ditinggalkannya. Saat mengambil
jawaban Koplo, Cempluk terperanjat kaget karena melihat kepekan Koplo
ketinggalan di bawah lembar Jawaban.
Dengan cepat ia memanggil Koplo. “John Koplo,
silahkan kembali ke kelas.”
Koplo pun kaget mendengar panggilan Bu
Cempluk,”enten napa, Bu,”
“Ini apa plo,” Jawab Cempluk sambil melihatkan
kepekan ke Koplo.
Koplopun tak bisa bilang apa-apa lagi selain
kata maaf. Dan wajahnya pun abang ireng kisinan. Akhirnya Koplo diberikan
lembar jawab baru untuk mengerjakan lagi padahal waktu tinggal sedikit.
“oalah ndelalah murid titipan,” saut salah
satu teman Koplo yang bernama Gembus dan diikuti gelak tawa teman-teman
lainnya.
Numpang Parkir Gratis
Pacaran dengan
sistem keuangan yang ngirit, terkadang
menjadi pilihan tersendiri bagi banyak
pasangan. Salah satunya John Koplo, pemuda Sragen yang berpacaran dengan
Cempluk yang berdomisili di Sukoharjo. Karena jaraknya yang lumayan jauh, jika
ingin berkencan mereka bertemu di salah satu swalayan besar, Pabelan, untuk
memakirkan salah satu motor mereka. Maklum, tempat itu dipilih karena tidak ada
biaya parkir alias gratis.
Begitu halnya
kejadian beberapa minggu yang lalu saat Cempluk mendapat undangan pernikahan
dari temannya di Klaten. Koplo dan Cemplukpun menuju toserba tersebut.
Sesampai ditempat yang dituju, Cempluk
memakirkan motornya dan segera berlalu menuju gerbang toserba.
Tidak lama kemudian Koplo menyambutnya.
“Ayo, Dhik.” Ajak Koplo.
“Iya, Mas.” Jawab Cempluk sembari mengangkat
bokongnya ke atas motor.
Mereka segera menuju ke tempat yang sudah di
rencanakan.
Empat jam kemudian mereka tiba kembali di
Toserba tempat penitipan motor Cempluk.
“Enteni
sek, Mas.” Suruh Cempluk sembari menyerahkan helm.
Cemplukpun segera berjalan ke tempat parkir.
“Karcis, Mbak.” Sapa Gembus, tukang parkir.
“ Niki, Mas.” Jawab Cempluk sambil menyerahkan
karcis.
“Wah
awan-awan maem sop nggih sueger no, Mbak.” Ucap Gembus dengan mesem ngguyu yang sangat mengagetkan
Cempluk.
Mendengar itu Cempluk merasa konangan yang
hanya numpang parkir gratis tanpa berbelanja. Dengan muka yang semrawut ia-pun
bergegas meninggalkan tempat itu. Slidik punya slidik ternyata Gembus sempat
mendengar pembicaraan Koplo dan Cempluk saat ijin keluar melewati gerbang
swalayan tadi pagi.
Pitrah kok ditolak
Lebaran
merupakan hari yang sangat istimewa bagi anak-anak, Karena mereka bisa
mendapatkan uang pitrah dari sanak
saudara maupun tetangganya. Namun berbeda dengan Tom Gembus, bocah yang masih
berusia 4 tahun ini. Pasalnya Gembus sering menolak jika dikasih uang pitrah
oleh sedulur-sedulurnya. Tentunya hal ini membuat John Koplo, ayahanda Gembus,
sangat terpukul.
Lebaran
kemarin, Koplo dan istrinya, Cempluk, memutuskan mubeng ke sedulur dan tetangga terdekat seperti yang lainnya.
“Dhik Gembus,
nanti kalau diparingi pitrah mbokdhe
ditrima ya.” Pesan Koplo kepada Gembus.
Saat
sampai di rumah Mbokdhe Nikole, Koplo dan Cemplukpun sungkem kepada empunya
rumah.
“Mbokhe, ngaturaken sugeng riyadi. Sedaya
kalepatan awujud tutur utawa tindak tanduk ingkang mboten mranani ..bla..bla..bla...”
Sungkem Koplo dan segera bergantian dengan istrinya.
Ketika
semua sudah selesai, Koplo dan Cempluk
hendak berpamitan.
“Mbokdhe, pamit riyin nggih. Niki badhe
nglajengaken mubenge.” Pamit Koplo.
“Oo..ngono. ya nderekake.” Jawab Nikole
sembari mengambil lembaran biru di dompetnya dan menghampiri Gembus yang sedang
digendong Cempluk.
“Thole Gembus, niki ngge tumbas es.” Ucap
Nikole dengan menyelipkan lembaran tadi ke jari-jari Gembus.
“Emoh..emooh..” Tolak Gembus.
Nikolepun
mengulangi adegan pemberian pitrah itu berulang kali, namun tragis, tangis
Gembus malah semakin menjadi-jadi.
“Yawis..suk wae nek wis gedhe ya, Le.”
Nikole mengakhirinya.
“Ditrima ta, Mbus.” Koplo masih ngereh-ngereh.
Karena
tidak berhasil, orangtua Gembuspun menyerah.
Saat
keluar dari rumah Nicole, Koplo hanya bisa muni-muni dhewe.
“Piye ta,Le. Diwenehi pitrah kok ora gelem.
Mbokdhe ki ya piye. ora dititipke pak e
apa mboke wae.” Grundelan Koplo.
Cemplukpun
hanya ngampet ngguyu Sendiri.
Salah Masuk TPS
John Koplo adalah salah satu pemuda di kecamatan
Colomadu, Karanganyar, yang tidak nggagasan
dengan partai politik. Makanya waktu
menerima undangan untuk menyoblos ia hanya meletakkan undangan begitu saja
tanpa membaca isinya terlebih dahulu. Dengan sikap acuh tak acuh ini, Kejadian
yang memalukanpun menerpa dirinya saat datang ke TPS(Tempat Pemungutan Suara).
Kurang lebih pukul 12 siang ia berniat berangkat
ke TPS. Setelah sampai di TPS, ternyata hanya ada beberapa pemilih yang sedang
melakukan proses pencoblosan dan PPS (Panitia Pemungutan Suara).
“Wah, sepi
ki. Gek ndang nyoblos gek ndang uwis.” Batin Koplo.
“Mangga, Mas
Koplo katuran pinarak. Lajeng mawon.”
Ucap salah satu panitia, Lady Cempluk.
“Nggih, Bu.”
Jawab Gembus.
Namun beberapa saat ketika Koplo menyerahkan
undangan, Cempluk mesem dan tertawa kecil setelah mengecek undangan itu.
“Mas Koplo,
nyuwun ngapunten. Sampeyan menika TPS 3, sanes TPS mriki. Menawi mriki TPS 2,
Mas.” Cempluk menjelaskan.
Mendengar suara Cempluk itu, Koplo kaget.
“Napa nggih
ta, Bu?” Tanya Koplo sambil melihat undangan.
Dan ternyata benar apa yang dikatakan Gembus,
Koplo salah TPS. Seketika itu PPS dan beberapa
orang yang di situ langsung tertawa nyekikik.
“Gek ndang
Mas Koplo, selak tutup lho he..he..” Ucap Tom Gembus yang juga PPS, semu
mengejek.
Cemplukpun menjelaskan bahwa beberapa warga di
RTnya Koplo dialihkan ke TPS 3 untuk pemerataan pemilih termasuk Koplo. John Koplo
hanya bisa menahan malu dengan muka abang
mbranang dan langsung ngacir
pergi, entah kemana.
Takut Badut
Menjadi kebanggaan
tersendiri, manakala orang tua bisa membuat acara ulang tahun untuk buah
hatinya. Seperti yang dialami pasangan Tom Gembus dan Lady Cempluk, warga
Pengging Boyolali ini.
Dua minggu ke
depan, Nicole, anak semata wayangnya genap berumur satu tahun. Rencananya, untuk
meramaikan Ultah, mereka akan mengundang badut sulap.
Beberapa pekan yang
lalu setelah pulang kerja, Gembus menyempatkan berhenti di bawah pohon pinggir
Jalan raya yang ada iklan badutnya. Sesampai
rumah, langsung saja ia menginformasikan kepada istrinya.
“Bu. Iki wis oleh
nomere badut”. Ucap Gembus.
“Langsung dibel
wae, Pak”. Jawab Cempluk.
Gembus langsung
menghubungi nomer tersebut, yang sebenarnya si badut bernama Joh Koplo dan memintanya untuk menghibur acara ultah di
rumahnya. Hari berlalu, dan akhirnya sore yang ditunggu-tunggupun datang juga.
Rumah Gembus berhias balon warna-warni menjadi pemandangan indah. Anak-anak semakin
bergembira saat sang badut dengan lihai menghiburnya.
“Adik-Adik, kini
tiba saatnya meniup lilin dan memotong kue”. Terang badut yang diikuti
sorak-sorai anak-anak.
“Mari kita
menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk teman kita, Dik Nikole.” Lanjut
Badut.
Namanya juga masih
balita, Nicole hanya diam saja dipangkuan ibunya.
Koplo yang menjadi
badut mencoba menghiburnya.
“Dik Nikole, Ci...
luukk... baaaa.” Suara Badut dengan mendekatkan wajahnya yang serba clonengan ke depan muka Nikole.
Sontak Nikole kaget
dan menangis sejadi-jadinya.
“Huaa..huaa..huaaa..”.
Tangis Nikole menggegerkan acara.
“Cuupp.. cuupp..
sayang.” Ortunya mencoba menenangkan.
Cempluk dengan
tanggap segera meniup lilin dan memotong kuenya. Sementara Koplo si badut hanya
bisa pringas-pringis, kisinan.
TPA-ne digusur?
Anak yang masih lugu terkadang megundang kelucuan
tersendiri. Begitu juga halnya dengan John Koplo dan kawan-kawannya, bocah kota
Bengawan yang baru duduk di bangku Taman Kanak-Kanak ini.
Beberapa pekan yang lalu, setiap hari senin jam 16.00
seperti biasa Koplo bersama teman-teman sebayanya pergi ke masjid untuk belajar
membaca iqro’.
“Ayo anak-anak sekarang waktunya mengaji. Buku iqro’nya di buka.” Ucap Lady Cempluk,
sang ustadzah.
“Iya, Mbak.” Sahut para santri sembari cepat-cepat
membuka buku iqro’ masing-masing.
Para santriwan-santriwati itupun terhanyut dalam suasana
belajar membaca iqro’, walaupun beberapa santri menyelinginnya dengan gojekan-gojekan kecil.
Empat puluh menit berlalu, anak-anak berlarian keluar masjid
karena sudah waktunya istirahat. Beberapa saat kemudian, Koplo dengan suara
lantang mengundang Gembus.
“Mbus, reneya
enek sing apik!” Ajak Koplo kepada Gembus. Namun teman-teman yang lain ikut
berlarian mengerumuninya dan melihat sesuatu yang ditunjuk Koplo.
Kebetulan di barat masjid itu terpampang sebuah
spanduk besar dengan tulisan yang sangat jelas, “Gusur TPA di Desa kami.”
Sontak anak-anak pada kaget.
“Berarti wis ora
enek TPA maneh.” Celethuk Gembus.
“Iya, Mbus.”
Jawab Koplo.
“Tak Tanya Mbak Cempluk dulu.” Sahut Gendhuk Nikole, yang kemudian berlari menemui
ustadzah disusul teman-teman lainnya.
“Mbak, TPA kita apa mau di gusur?” Tanya Nikole.
“Digusur piye ta,
Ndhuk?” Tanya Cempluk kaget.
“Lha tulisane
kae, Mbak.” Ucap Koplo sembari menuding keberadaan spanduk.
Beberapa saat berfikir, Cemplukpun merasa Dhong, yang
akhirnya tersenyum dan ngampet ngguyu.
“Yang dimaksud TPA dalam spanduk itu bukan “Taman
Pendidikan Al-Qur’an”, tapi “Tempat Pembuangan Akhir atau lahan tempat sampah.”
Jelas Cempluk.
Anak-anakpun hanya bisa ndomblong saja.
0 Komentar untuk "Contoh Tulisanku yang tidak dimuat Ah Tenane Solopos"