Resensi Buku ; Kerudung Santet Gandrung
Daftar Isi Resensi Buku
BALAS
DENDAM SANTET
Awalnya, pasti kebanyakan kita akan seram jika melihat sampul buku
berjudul, “Kerudung Santet Gandrung” terbitan Desantara:2013, yang pernah
diangkat dalam layar televisi berwujud sunetron, berjudul “Jejak Sinden”.
Karena hanya dengan memamerkan satu mata yang sarat dengan warna hitam.
Namun setelah kita membacanya, kegerian itu secara perlahan akan
musnah dengan sendirinya. Karena berbagai permasalahan yang diceritakan
penulisnya, “Hasnan Singodimayan” kentara dengan kisah keseharian kita pada
umumnya.
Berbagai cerita pun disuguhkan kepada kita dengan buku setebal 214
halaman ini. Mulai berebut wanita yang cantik, masalah kerudung dalam
perspektif masyarakat, unsur negatif untuk penari gandrung atau ledek, sampai
pada masalah perdukunan.
Balas dendam adalah tindakan yang mungkin menjadi satu-satunya
tindakan yang harus dilakukan seseorang mengingat rasa dendamnya sudah terlalu
memuncak. Dalam realitas kehidupan kita akan sering mendengar atau melihat
adegan-adegan seperti ini. entah itu dalam ranah politik, ekonomi,
kemasyarakatan maupun dalam dunia pendidikan sekalipun.
Dalam novel ini, berawal dari kecemburuan Nazirah, mantan istri Iqbal.
Diceritakan iqbal adalah pengusaha tambak yang kaya raya dan mempunyai istri ke
dua bernama Merlin, sang penari Gandrung, Jaipong, atau Tayub. Karena
kecemburuan Nazirah terlalu besar terhadap Merlin, maka ia mempunyai ide
mencari dukun agar ajian santet bisa tertuju kepada Merlin.
Namun layaknya bumerang yang dilemparkan dan kembali lagi ke arah yang
melemparkan tadi, sang dukun ternyata sudah memiliki hubungan akrab dengan
Merlin. Dan sang dukun merasa bersimpati kepada Merlin, karena telah
melestarikan budaya tari Gandrung, sang dukun sagat menyukai permainan seperti
itu.
Dalam tataran logika, kita tidak pernah mengenal istilah santet.
Mungkin hanya ada dalam istilah sihir maupun takhayul semata. Namun anehnya,
pemerintahan di DPR kita pernah digegerkan oleh kata santet itu sendiri. Dan
berita itupun gencar di media massa maupun elektronik.
Di desa-desa yang mungkin jauh dari perkotaan, akan ada banyak istilah
untuk santet ini. santet adalah sesosok kekuatan gaib jahat yang berupa
penyakit untuk dikirimkan kepada seseorang yang dikehendaki seorang dukun. Tentunya
harus terlebih dahulu dengan melakukan persyaratatan khusus.
Satu hal yang perlu dimengerti, salah satu pemberi catatan kaki dalam
novel ini adalah Novi Anoegrajekti, Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas
Jember. Disini ia melakukan pandangan-pandangan tidak dari segi takhayul
santet, melainkan tokoh-tokohmnya merujuk pada potret keseharian realita hidup.
Ia menuliskan, “Membaca novel Hasnan, tidak jelas lagi apakah novel in harus
dipandang sebagai karya sastra ataukah sebuah laporan kehidupan sehari-hari.”
Novi menambahkan tentang pemeran utama Merlin sebagai penari gandrung,
bahwa “gandrung diidentikan dengan komunitas abangan dan dikategorikan sebagai
kesenian yang harus dihindari bahkan gandrung dijauhkan dari pesantren. Tarik
menarik antara kabar langit dan kabar realitas, menjadi ajang konsestasi yang
sebenarnya. Perbedaan menjadi garis pembatas yang harus dilakukan oleh seseorang
yang melakoni hidup itu sendiri.
Awalnya ketika aku membaca
novel ini yang aku juga berfikir nvel bernuansa realitas kehidupan, tidak akan
menceritakan hal-hal yang bersifat di luar kepala. Seperti tidak akan
menunjukan hal-hal aneh yang menjadi imbal balik dari sebuah santet. Aku
mengira akan seperti jalan cerita yang pernah diutarakan Pramodya Ananta Toer
dalam novel berjudul, Dedes Arok. Kita sangat tahu bahwa Dedes dan arok lah
yang mendominan kisah tentang keris Empu Gandring, kutukan tujuh keturunan.
Namun hasil pencarianku nihil. Tidak ada sama sekali atau singgungan tentang
keris maupun kutukan tujuh keturunan.
Pram sangat elok memisahkan mana yang mitos dan mana yang realitas.
Pram menganggap semua cerita mitos itu munculnya ada sebabnya, entah itu urusan
politik maupun kekuasaan. Pram dalam novel Dedes Arok, memberikan keterangan
kepada kita, bahwa sejak dulu jaman raja-raja sebelum kedatangan Mataram dan
majapahit, leluhur sudah mempunyai strategi politik yang tangguh, termasuk
memperebutkan kekuasaan, membunuh lawan tanpa diketahui pembunuh sesunguhnya. Intinya,
Pram memisahkan mitos atau takhayul yang berkembang di dalam masyarakat denga
realitas cerita yang mau dikisahkan melalui novelnya.
Namun, dalam novel Kerudung santet Gandrung ini, penulis menjadikannya
salah satu babak yang membuat para pembaca mengernyitkan dahi. Beberapa adegan
menceritakan tentang kesaktian santet. Santet benar-benar ada dan terjadi dalam
novel ini. salah satu tokoh, Nazirah adalah yang menjadi korbannya. Kita bisa
membacanya pada halaman 194.
“Biarkan perutnya yang berisi wajan penggorengan itu tetap berada di
dalamnya.”
“Sebab semalam sudah dimantrai sawang, supaya bisa hilang sirna dari
perutnya.”
Selain itu kita bisa menyimak pada halaman 202.
“Tapi perilakunya pada Nazirah sangat mengerikan. Tiga ember darah
hitam dimuntahkan.”
“Untung masih diberi jalan muntah, jika tidak ia bisa mati.”
Pemunculan sebuah adegan yang sering dianggap orang takhayul,
menurutku akan mengurangi kedetelan atau realitas dari sebuah cerita. Sayang,
jika cerita awal adalah kisah yang menurutku sudah menunjukan alur, jalan
cerita, dan penggunaan diksi yang baik harus menemui kendala nalar pikir karena
harus meletakkan takhayul dalam sebuah ceritanya.
Oleh bisri nuryadi
0 Komentar untuk "Resensi Buku ; Kerudung Santet Gandrung"