cerpen religi




Istri untuk Pak Adnan
Lembayung senja tunggang gunung berarak perlahan namun pasti. Sembari mengayunkan selendhang adikarya-Nya penuh anggun yang tidak terasa langit birupun sudah terganti dengan ungunya violet yang makin temaram. Lampu rumah, lampu jalan seakan berlomba berebutan menerangi Desa dilereng bukit itu. Terlihat  bahari layaknya kunang-kunang yang sedang berkompromi untuk memutuskan sesuatu.
Namun, keartistikan itu tidak mampu menahan langkah sandal jepit hijau milik Pak Adnan untuk berjalan cepat, dan akhirnya dipercepat dan dipercepat lagi kian tergesa. Setibanya, dibuka pintu, dihidupkan lampu, dipencet tombol mikrofon, dan ia kumandangkan adhan magrib.
Begitulah keseharian Pak Adnan di waktu petang menjelang, sehingga ketua takmir musholapun mempercayakan untuk membawa duplikat kunci mushola kepadanya.
Seakan tidak seperti biasa, burit ini seolah berlari secepat kilat jauh meninggalkan merah saga yang berhaluan dengan bintang-bintang kecil sempurna dikarena detik jam terus berputar dengan trengginasnya menggilas setiap jiwa yang terlena. Begitupun detik jam deker Pak Adnan yang berada diatas meja kamarnya, yang selalu siap siaga bertugas membangunkan untuk memenuhi panggilan aktivitas maupun tahajudnya.
Dilihat jam deker telah menunjukan pukul 11 lebih sepuluh menit, tetapi mata Pak Adnan belum mengantuk sama sekali dan masih bergelut mesra dengan file-file raport anak didiknya dinetbook yang dibelakang tertempel stiker bertulis “Inventaris MI 1 Parit Antang, Kec.Aur Birugo Tigo Baleh, Bukit Tinggi”.
Sebentar ia memutar badan ke kanan dan kekiri sekedar membuang rasa pegel di bagian punggung dan ia keluar dari kamar memandang sekitar rumah peninggalan almarhum bapaknya yang sarat dengan sederhana. Ibunya sudah duluan tidur sejak jam setengah sembilanan tadi bersama adik ragilnya, Sabirin yang masih duduk dikelas 5 SD. Mungkin Ibunya merasa kecapekan setelah seharian bekerja sebagai buruh kelapa sawit. Dilihatnya Tari kakaknya Sabirin, tertidur berteman buku idamanya ‘dokter tangguh’ diatas lantai beralas tikar yang sampingnya bolong karena gigitan tikus. Dibopongnya Tari menuju kamar samping yang disitu sudah ada Ermayulis kakak Tari dalam posisi tidur pulas.

***
M. Janan Hamzah” Pak Adnan memanggil nama siswanya yang diwakili oeh wali murid untuk mengambil raport semester gasal ini.
Ayah dari M. Djanan Hamzah menghadap pada Pak Adnan dan tersenyum. Ustad Saimun, begitu Pak Adnan memanggilnya. Mereka sudah akrab karena berteman sejak SMA, hanya saja ustad Saimun lebih tua selisih 2 tahun dari Pak Adnan. Namun sudah mempunyai anak yang duduk dikelas 2 SD, Kebetulan Pak Adnan menjadi guru Tematik sekaligus wali kelas putranya.
Setiap bertemu dengan Pak Adnan, Ustad Saimun seakan menunggu sebuah jawaban yang dinanti-nantikanya sejak lama. Namun, Pak Adnan hanya bisa tersenyum penuh misteri.  
Secara bergiliran, satu persatu nama muridnya dipanggil, dan akhirnya siswa. Zukri Anwar, sebagai siswa terakhirpun keluar dari ruang kelas. Dan dikelas itu hanya tinggal Pak Adnan yag lekas membenahi absen-absen siswanya dan menuju ke kantor guru.
Diruang guru sudah berkumpul teman-teman gurunya sekedar istirahat, Pak Adnan terakhir sendiri karena murid kelas 2  terbanyak muridnya, yaitu 22 siswa.
Kini aktivitas sekolahpun libur 2 minggu karena usai penerimaan raport semester. Begitu juga para guru, hanya saja setiap guru punya tugas piket satu kali dalam sepekan dan mengerjakan perangkat mengajar guru, yaitu silabus dan RPP untuk semester ganep.
***
Hanya dengan waktu 3 malam, perangkat mengajar semester ganep pun sudah diselesaikan Pak Adnan. Maklum, Pak Adnan termasuk guru yang rajin.
Malam ke-4 seusai kajian dimasjid tetangga desanya, Pak Adnan dengan asyiknya menghafalkan ayat-ayat alquran jus 28, karena juz 29 sudah dihafalkannya sejak  lulus dari perguruan tinggi STKIP Ahlussunah, Bukit tinggi 2 tahun yang lalu dengan biaya sendiri. Sebelum kuliah, kurang lebih 4 tahun Pak Adnan  bekerja di Bekasi sebagai teknisi astra guna mengisi tabungan sendiri untuk mengejar cita-citanya yaitu guru. Dan kini cita-cita itu sudah terwujud walau tak seindah yang ia bayangkan dulunya. Tapi Pak Adnan selalu penuh rasa syukur.
Sesaat ia menoleh ke jam dekkernya yang menunjuk jam 22.46 menit. Ia keluar rumah dan duduk termenung dikursi kayu depan rumahnya yang remang. Matanya yang tajam menerawang Jauh ke depan. Dan di lubuk hatinya bergumam ” aku, Adnan Dt. Malintang Alam, S.Pd. aah, Sekarang umurku 28 tahun.  Tetapi aku belum bisa memenuhi panggilan agama yang satu ini. Sebagai anak sulung, aku harus bisa mewujudkan cita-cita adik-adiku dulu.” Renungan Pak Adnan semakin dalam, sampai-sampai pipinya tertetesi air mata. Ketika ia tersadar, dengan tersentak “Astagfrullahal’adzim.” Air matanya diusap dan berburu masuk kedalam.
***
   “Saya terima nikahnya, Yulaikha binti Sukarman dengan seperangkat alat sholat, dibayar tunai.” “Sah?” kata pak Na’ib. “sah.. sah..” lanjut para saksi yang menyaksikan ijab qobul Pak Adnan, 3 hari sebelum masuk semester ganep.
Semua para tamu yang hadir tersenyum, tak terkecuali Ustad Saimun. Ia menatap kedua wajah temanten baru. Pak Adnan, sahabat karib teman seperjuangan ROHIS waktu SMA dan tidak terencana sekarang menjadi guru putranya. Sesekali ia melihat wajah keponakannya, Yulaikha yang wajahnya nampak kemerah-merahan menahan sesuatu. Ia masih teringat jelas ketika sore-sore Pak Adnan berkunjung ke rumahnya yang berjarak kurang lebih 4 km itu, 1 hari setelah ia merenung didepan rumah waktu malam. Ia telah menjawab pertanyaan Ustad Saimun yang dilontarkan 2 tahun yang lalu. “Keponakan ana sudah siap lho pak guru, tinggal antumnya. Ehem”.




Share :

Facebook Twitter Google+
0 Komentar untuk "cerpen religi"

Back To Top