Merapuh = Pucuk puisi galau
Puisi itu migrasi. Berpindahnya
dari sunyi ke bunyi. Dalam alam sebenarnya yang tak teraba dan tak terdengar.
Kemudian muncul seiring kondisi tubuh yang terpahami, bahkan mustahil untuk
dipahami. Kebermunculan itu bisa melalui gerak tubuh, ekspresi, kata-kata, dan
mungkin saja melalui goresan pena. Sehingga bisa memuaskan atau memuakkan berjuta
mata yang menyapa.
Entah indah ataupun tidak bahasa
yang digunakan, puisi tidak mematok harga untuk sebuah syair. Seorang ibupun
akan menganggap tangisan anaknya sebagai puisi yang teramat berharga. Indah,
penuh makna, dan bernilai sebagai invenstasi masa depan. Terlepas dari suara
tangisan yang mungkin berbaur dengan batuk maupun ompol di pangkuannya.
Puisi adalah ejawantah tubuh yang
merdeka. Bebas dan lepas tanpa ada sedikit ketakutan terhadap sesuatupun. Puisi
adalah kritik. Puisi adalah kenangan. Puisi adalah perjalanan waktu. Puisi
adalah perasaan. Puisi adalah tugas sekolah. Maupun puisi adalah pendobrak atas
segala sesuatu yang tidak bisa diterima oleh diri, merupakan sebagian dari
banyak argumentasi tentang penggambaran terhadap pribadi puisi.
Nurni Chaniago telah mengaku di
awal dalam lembar “Sepotong kata keakuan”, bahwa puisinya terlahir dari dalam
kekecewaan, dalam penantian, dalam ketidaktentuan, kegalauan, dalam kebencian
dan dalam harapan yang tidak tersampaikan. Bandung Mawardi dalam ulasannya
berjudul”Berkata dan berperasaan” pada halaman empat-pun membenarkan itu. Bahwa
puisi Nurni “terlahir dari rahim kesenduan.” Sehingga perasaan yang seperti itu
sangatlah peka untuk menuangkan imajinasi luka, lara, bahagia dan derita.
Puisi Nurni ibarat sebuah
lintasan waktu yang telah dilaluinya dengan berbagai penantian, ketidaktentuan,
kegalauan terhadap kekasih maupun terhadap kehadiran tubuhnya. Setiap saat
adalah puisi. Gerak gerik serta merta langkahnya juga berpuisi. Dengan
kesadaran penuh, Nurni merekam jejak-jejak perjalanan waktunya dengan
menggoreskan ke sebuah kertas putih dan memasaknya. Sehingga kitapun bisa
mencicipi aroma puisi yang terhidangkan.
Kegalauan bukan hanya merupakan
perasaan tak berarti. Namun dengan kelihaian Nurni, kegalauan itu menjelma
menjadi sebait puisi yang sangat berarti dan sarat dengan makna. Salah satunya
penuangan dalam puisi “berdua dalam kesendirian” halaman 21. Bunyi puisi itu adalah :
Selalu pagi dengan segelas kopi/kaupun bosan menemani/hari ini akan berjalan
sendiri/seperti itulah kita biasa melewati/tak ada yang aneh dengan semua
ini/tanggal-tanggal berloncatan, bulan-bulan beterbangan/tahunpun berlalu
dengan diam/kita masih asyik dengan cerita kesendirian/yang kita bawa dalam
ranjang ketiduran/biasa kita memeluk bayang dan kenangan/juga harapan yang
tergambar dalam pikiran/kesendirian sambil berpelukan//.
Sepucuk penggambaran terhadap
kesepian diri. Sarat dengan pengalaman pribadi. Secara apik Nurni mengungkapkan
kesenduanya dengan penuh kemewahan kata-kata. Sehingga membuat imajinasi kita
ikut terbang dibawanya. Jika Nurni disini meluapkan ketidaktentuan terhadap
dirinya, maka aku juga ingin memaparkan puisi yang memuncratkan kegalauan
terhadap dunia luarnya.
Aku jadi teringat dengan penyair
Jerman yang mengakhiri hidupnya dengan menenggak kokain yang berlebihan diusia
27 tahun. Ia melakukan itu karena trauma. Dalam perjalanan hidupnya ia bercinta
dengan adik kandungnya sendiri. Penyair itu adalah Georg Trakl, seorang penyair
yang ternama dengan ketidaktentuan terhadap lingkungannya yang semakin gila. Salah
satu Kegalauan itu diungkapkan dalam sebuah puisi berjudul “Kepada mereka yang
membisu”. Isinya begini ; O, kesintingan
kota besar saat senja/pohonan cacat menjulang di tembok hitam/saat ruh
kejahatan mengintip dari topeng keperakan/cahaya bercambuk magnet mengusir
malam membatu/o, dentang lonceng malam yang terbenam//pelacur, dalam gigil es,
melahirkan bayi mati/geram murka Tuhan cambuki dahi si kerasukan/sampar ungu,
lapar yang remukkan mata hijau/o, kencana, keji tawanya/Namun, di gelap goa,
bisu manusia berdarah diam-diam/memahat kepala penyelamat dari keras
logam-logam//.
Puisi-puisi Georg Trakl memang
terkesan menakutkan. Membuat bulu kuduk berdiri para pembaca. Hampir semua
puisinya terlahir dari trauma dan kelam masa lalu. Justru ini sebenarnya
pengungkapan dari sejarah yang terpendam untuk dihadirkan sebagai
lukisan-lukisan kata yang layak untuk diapresiasi.
Puisi Nurni dan Puisi Georg Trakl
menjadi penambah satu pelajaran bagi kita. Berpuisi adalah diri sendiri.
Berpuisi juga berarti menyapa tubuh dan dunia sekitar. Kita akan semakin mafhum
terhadap berpuisi. Dan mungkin saja kita semakin bereksistensi dalam pelukan
pribadi puisi.
Nurni, hari ini telah mengajarkan
laku menulis puisi. Bahwa setiap detik, setiap rasa, setiap gerak tubuh adalah
puisi. Mengukir riwayat melalui imajinasi kata-kata dan mengabdikannya pada
sejuta tatapan mata yang ingin merdeka. Menggenggam diri sendiri dan berdiri
diatas kaki pribadi.
Bisri Nuryadi
Alumnus Univet Bantara Sukoharjo
Bergiat di Bilik Literasi Solo
Tulisan di muat di edaran ora weruh
0 Komentar untuk "Artikel Puisi"